Izinkan Aku Bertaaruf Denganmu
Oleh :
Murmiyati
Staf
pengajar di SMP Muhammadiyah 8 Yogyakarta
Fabiayyi aalaa i
robbikumaa tukadzdzibaani…. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?
Tergetar
hatiku mendengar ayat itu dibacakan. Ingatanku melayang pada almarhumah ibu.
Wajahnya yang jernih, meneduhkan. Usapan tangannya di rambutku, selalu
membuatku tak mampu berkutik. Apalagi saat beliau memintaku duduk di samping
pembaringannya. Menyerahkan padaku, Al Qur’an yang bisaa beliau baca dan memintaku untuk membacakan ayat-ayat itu. Aku
duduk tepekur di sampingnya, beliau mengelus-elus rambutku.
“Menantu
ibu akan bahagia hidup bersamamu, kau pandai membuat ibu bahagia.”
Aku
hanya mengangguk. Namun rasa nyeri menjalar dimana-mana. Ibu tak tahu kalau aku
tak lagi bersama Iffa. Gadis yang selama
ini menjadi dambaan ku, juga ibu. Iffa telah memilih jalan sendiri. Menjauh
dariku, lepas dari hidupku.
Aku
menunduk bayangan wajah ibu, mengharu biru hatiku. Aku kembali larut dalam
lantunan Ar Rahman.
“Acara
yang selanjutnya adalah sepatah dua patah kata dari Bapak Maskur dan Bapak Hadi
selaku asesor, waktu dan tempat saya serahkan sepenuhnya.”
Mas
Hadi, teman asesor ku memandangku dan tersenyum, memberi kode agar aku yang
berbicara terlebih dahulu. Dengan memperbaiki duduk, aku tersenyum dan mulai
menyapa.
“Assalamualaikum warohmatullahi wa barokatuh.
Terima kasih atas sambutan yang telah
diberikan. Saya tidak menyangka bahwa di SMP Cluring ini saya akan disambut
oleh bidadari-bidadari cantik.” Arah pandangku menyapu seluruh ruangan dan
terpaku pada seseorang yang duduk di sudut kanan. Jantungku berdegub lebih
kencang. Kurasakan wajahku memanas. Aku segera mengalihkan pandanganku, namun
sia-sia. Seperti ada magnet yang kuat yang menarikku untuk tetap melihat ke
sudut kanan. “Kami berdua disini mendapat tugas untuk melakukan visitasi,
mencocokkan antara berkas yang dikirim ke BAP dengan borang yang ada. Semoga
kami dapat melaksanakan tugas ini dengan baik. Harapan kami, kita dapat melakukan kerjasama yang baik.
Sehingga apa yang kita harapkan semua bisa berjalan dengan lancar.”
“Dan
ke depan karena Pak Maskur sudah mengatakan banyak bidadari cantik disini,
siapa tahu ada yang…” suara Mas Hadi menggantung tak dilanjutkan.
Hadirin
menanti kelanjutan kata-kata Mas Hadi. Aku tersindir. Memandang Mas Hadi penuh
arti. Ah, tahu aja dia dengan hatiku yang sedang berbunga-bunga. Pandanganku
kembali ke sudut kanan. Hanya dia yang tak menatapku. Yach siapa sih yang mau
menatap pria setengah abad dengan pandangan
tertarik? Walau aku aku masih gagah dan tampan? Dan juga mapan? Tetapi aku
memang harus tahu diri.
Wajahnya
sedikit menunduk, aku melihat kegelisahan di wajahnya. Duduknya tak nyenyak.
Sebentar-sebentar mengingsut. Tangannya yang ada di pangkuan bermain sendiri.
Dia hidup dengan dunianya sendiri. Hanya tubuhnya yang ada disini. Hati dan
pikirannya entah melayang kemana. Dalam
pandanganku dia semakin cantik saja. Semoga masih ada kesempatan buatku.
Setelah sekian lama aku menutup diri, baru kali ini aku seperti mendapatkan
kembali secercah sinar pengharapan.
Visitasi
hari ini berjalan lancar. Saat adzan Ashar berkumandang, lima standart telah
selesai. Leganya. Satu hari terlewati. Ini adalah hari pertama visitasi.
Ketika
para petugas datang dengan membawa borang, seperti bisaa kami selalu menanyakan
siapa namanya dan mengajar mata pelajaran apa.
Aku memintanya untuk menunjukkan perangkat mengajar yang telah dibuat
juga borang yang dibutuhkan sebagai coordinator standar. Saat dia menunjukkan
perangkatnya, dia menjelaskan dengan pelan dan bahasa yang tertata rapi. Tubuhnya semampai, kulitnya bersih, suaranya
lembut, merdu. Kacamata yang digunakannya memberi kesan sedikit angkuh. Apalagi dia tipe orang yang tak banyak bicara.
Di
ruang Kepala Sekolah mataku menelusur, melihat daftar nama guru yang terpampang
di dinding. Ternyata namanya Ida, guru Bahasa Inggris. Lahir tanggal 20 Januari
1973. Status TK.
***
“
Merenungkan yang tadi Mas?”
Mas
Hadi bertanya setelah lama berdiam diri menikmati perjalanan. Jalanan menanjak
Mayang Kumitir baru mulai. Aku sengaja meminta Mas Slamet, sopir andalanku
untuk membuka jendela lebar-lebar, menikmati udara gunung walau sudah sedikit tercemar.
“Yang
mana Mas?” sahutku sambil tersenyum. Kami saling menyapa dengan sapaan tidak
resmi karena kedekatan kami sejak di bangku kuliah.
“
Yang di sudut atau yang membaca Qur’an?”
“Ah…
Sampeyan sepertinya tahu apa yang saya pikirkan Mas?”
“Tadi
Mas Maskur terpesona menyimak ayat yang dibacakan, tapi pandangan tak lepas
dari sudut kanan. Hahaha .”
“Wah,
ternyata Sampeyan jeli juga.” Kami
tertawa bersama.
“Yang
disudut status TK Mas.”
“Tahu
darimana?” Hehe padahal aku juga sudah tahu.
“Wah
pura-pura nggak tahu? Tadi di Ruang KS Mas Maskur asyik menelusuri identitas
guru. Hahaha”
Salah
tingkah aku jadinya. Ternyata Mas Hadi mengamati semua yang kulakukan. Padahal
aku sudah berhati-hati dan menahan diri.
“Kalau
ada getar, harus ditindak lanjuti. Menunggu akan jadi aus dan lupa lagi lho.”
Katanya menggoda.
Ada
benarnya apa yang dikatakan Mas Hadi. Harus segera ditindaklanjuti. Tapi aku
baru melihatnya sekali. Belum tahu siapa dia sebenarnya. Mungkin status yang
terpajang hanya karena dia PNS dan bersuami PNS. Jujur hatiku tergetar
melihatnya pertama kali. Ada sesuatu yang menarikku untuk menatapnya tanpa
henti. Sesuatu yang tak bisa kutolak atau kuhindari.
“Kok
malah merenung lagi. Ayo action.”
“Berarti
benar kan? Ada yang membuat bergetar?” katanya lagi menegaskan.
Aku
mengangguk.
Jalanan
yang kami lewati kian menanjak dan berliku. Pedagang pecel di kiri kanan jalan
menawarkan dagangannya. Beberapa pengunjung berhenti menikmati pecel dan udara
gunung yang sejuk, pemandangan alam yang masih alami. Beberapa penduduk yang
menjadi pemandu jalan tampak mengacung-acungkan tangannya. Memberi tahu keadaan
jalan sekaligus mengais recehan yang dilemparkan pengguna jalan. Hari sudah
menjelang malam. Suasana kian temaram. Kendaraan melaju, ingin segera mencapai
rumah.
***
Pagi
yang cerah, secerah hatiku. Banyak yang kupikirkan semalam, semua membuatku
lebih bersemangat untuk melangkah. Walau harus menepuh puluhan kilo untuk
mencapai lokasi visitasi. Langkahku menjadi lebih ringan, maka ketika Mas
Slamet datang aku sudah siap.
“Wah
saya kesiangan ya Pak?” katanya merasa bersalah.
Melihat
mobil sudah di luar dalam keadaan mesin hidup. Dia segera mengambil kanebo
untuk melap mobil.
“Tidak
Met, saya hanya ingin bersiap lebih awal karena perjalanan yang akan kita
tempuh lumayan jauh.”
“Kita
berangkat sekarang Pak?”
“Ya
nunggu Mas Hadi dulu, daripada berangkat sendiri-sendiri lebih baik berdua
kan?”
“Ya
iyalah Pak, berdua lebih enak dan lebih baik. Hahaha.” Ada nada berbeda dalam
tawanya kali ini.
“Maksudmu?
Kenapa kau bilang berdua sambil tertawa? Bukankah kemarin juga berdua?”
“Hahaha
lebih enak lagi berdua sama…”
“Sama
siapa?” tanyaku penasaran mendengar kata-katanya.
“Sama…
“
“Wah
bicaramu nggak jelas Met…”
“Itu
lho Pak, berdua sama yang dibicarakan Pak Hadi kemarin hehe”
“Nguping rupanya kau Met… kau tahu apa
tentang dia?”
“Daripada
kemana-mana cuma berdua sama saya kan lebih baik bertiga kan Pak. Saya rela
jadi obat nyamuk.”
“Walah
Met, Met… aku juga baru lihat sekali, kemarin. Aku juga belum yakin kalau dia masih
sendiri. Semoga saja hari ini aku
beruntung masih bisa bertemu lagi
hahaha.”
“Wah…
makanya Bapak pagi-pagi sudah siap,
ternyata ada maunya. Semoga hari ini bertemu lagi. juga untuk hari-hari kedepan
Pak.”
“Itu
yang susah Met. Hari ini hari terakhir visitasi.”
“Minta
nomor telponnya saja Pak. Beres.”
“Beres
gimana?”
“Kan
bisa terus telpon, SMS, WA, atau BBM an Pak?”
“Itu
kalau kamu Met.”
Betul
juga kata Slamet, harus bisa mendapat nomor HP nya. Tapi bagaimana caranya? Ah
… pasti ada cara lain yang lebih cantik. Aku percaya. Kalau aku benar-benar
menginginkan pasti akan ada jalan.
Tak
lama kemudian Mas Hadi datang. Kami kemudian meluncur ke SMP Cluring. Sepanjang
perjalanan kami mempersiapkan diri. Mendalami kembali petunjuk dan hasil
visitasi hari kemarin. Sedikit berdiskusi tentang kondisi sekolah dan borang
yang kami teliti.
Hari
ini kami rencanakan sebelum dhuhur selesai. Melihat kesiapan sekolah dalam
mempersiapkan visitasi, prediksi kami akan bisa selesai sebelum waktunya.
Ketika
kami sampai di lokasi, semua sudah tertata rapi. Petugas akreditasi sudah siap
di tempat. Mereka menyambut kami dan meminta kami untuk melakukan foto bersama.
Semoga dia juga ikut berfoto ria kataku dalam
hati.
Hai… kau datang kemari untuk tugas visitasi, bukan
untuk melirik sana sini, kata hatiku yang lain. Aku tidak melirik, tapi
menatapnya dan mencari tatapan matanya. Biarkan aku menikmati bahagiaku
kembali. Benarkah dia akan menjadi bahagiamu? Apakah dia mau denganmu? Bukankah
kau belum tahu pasti siapa dia dan bagaimana statusnya. Aku akan mencari tahu.
Biarkan aku menggapai bahagiaku.
“Kita mulai sekarang Pak?”
Kepala Sekolah bertanya padaku.
“Baik, lebih cepat lebih baik.”
Kataku sambil melangkah menuju ruang yang sudah dipersiapkan.
Kulihat
beberapa petugas akreditasi bersiap di depan borang yang sudah dipersiapkan
dengan rapi. Dua orang guru duduk dekat dengan mejaku. Salah satunya Ida. Dia
sibuk dengan catatan yang ada ditangannya. Tak sedikitpun dia melirikku,
apalagi menatap. Seolah-olah kami tak
pernah ada. Angkuh. Itu kesanku. Tapi justru keangkuhan itulah yang membuatku
lebih tertantang untuk bisa menaklukkannya. Semoga Alloh meridhoi.
Masih
tiga standar yang harus kami cocokkan antara data yang masuk dengan borang yang
ada. Standar pengelolaan, berjalan mulus. Tak butuh waktu panjang saat
menangani standar ini. Petugasnya cukup komunikatif dan menjawab setiap
pertanyaan dengan sigap dan tangkas. Dibantu beberapa teman yang siap
menyiapkan borang yang dibutuhkan. Walau sebenarnya borang itu sudah tertata
rapi di ruangan yang digunakan visitasi.
Standar
berikutnya tak terlalu banyak berbeda karena borang sudah siap ditempat.
Terakhir standar penilaian, standar yang paling berat pertanggungjawabannya
karena menghimpun hasil kerja seluruh guru.
Pada standar ini lebih cepat lagi selesai karena petugas telah menyiapkan
seluruh borang tanpa kecuali. Semua diberi sampul yang menarik walau selintas
menimbulkan kesan bahwa itu barang baru semua. Tapi ide cantik ini membuat
semua menjadi lebih cepat dan mudah dalam pengecekan borang.
Kumandang
adzan dhuhur terdengar saat kami menyelesaikan tugas. Lega. Tugas telah
terselesaikan, kami tinggal menyusun laporan dan melaporkan hasinya.
Acara
penutupan dilaksanakan seusai sholat dhuhur. Tak banyak kesan dan pesan yang bisa
kusampaikan. Mas Hadi yang lebih banyak menyampaikan hal itu. Aku berterima
kasih sekali kepada Mas Hadi. Karena
dengan spontan dia mengundang keluarga besar SMP Cluring untuk berkunjung
ke kota kami, sebagai balasan karena telah menerima kami dengan baik.
“Kami
menyambut baik undangan Bapak, karena kebetulan kami akan melaksanakan refreshing
minggu depan ke Pantai . Kami berharap Bapak tidak terkejut karena kami datang
satu bis.Hahaha…” Kepala Sekolah langsung menyambut tawaran Mas Hadi.
“Kalau
di rumah saya terlalu sempit, bias ke rumah Pak Maskur juga. Rumahnya seluas
lapangan bola. Kebetulan rumah kami
berdekatan.” Mas Hadi kembali menawarkan. M
Kami
semua tertawa, mereka kasuk kusuk mengiyakan tawaran kami.
***
Ternyata
ini bukan basa-basi. Mereka benar-benar datang satu bis. Aku menawarkan diri
untuk menjadi pemandu. Teman-teman Ida memberi kesempatan padaku untuk duduk di
sampingnya. Pucuk dicinta ulam tiba. Kucuri kesempatan itu untuk mendekat pada
Ida. Aku bukan remaja yang mudah jatuh cinta
kembali. Tapi tak kuingkari kalau
berulang-ulang dadaku berdebar kencang.
Aku
berusaha menjadi pemandu yang baik. Menjadi penunjuk jalan menuju pantai.
Mencari tempat belanja oleh-oleh. Terakhir singgah di Masjid Besar untuk melaksanakan Sholat Maghrib. Suasana masjid
yang ramai membuat kami tidak bisa serentak melaksanakan sholat. Saat aku
keluar, kulihat Ida duduk di serambi dekat tangga, sendiri menunggu beberapa
tas yang ada di sampingnya.
“Lelah
Bu?” tanyaku.
“Hehe,
iya Pak.” Sahutnya sambil tersenyum. Dimataku senyumnya manis sekali saat ini.
“Kalau
lelah, pulang besok saja Bu. Nginap disini dulu.”
“Hehe…
”dia hanya menjawab dengan tawa kecil, wajahnya tersipu.
“Tapi
kasian keluarga juga ya, anak-anak dan suami pasti menunggu.” kataku
selanjutnya.
“Ah
enggak Pak.”
“Ooo,
jadi sudah pamit kalau tidak pulang?” ucapku mencoba mencandai.
“Bukan
begitu Pak, saya hanya tinggal bersama kakak. Jadi nggak ada yang menunggu.” Ida
mencoba memberi penjelasan.
“Maafkan
saya kalau menyinggung.” Tulus aku meminta maaf. Jangan sampai tersinggung,
kataku dalam hati.
“Tidak
apa-apa Pak. Sudah bisa.” Pandangannya menerawang, jauh.
“Ehm…
boleh saya berkata sesuatu?”
Dia
diam. Sepertinya tak mendengar pertanyaanku, Aku tak sabar ingin mengatakan
perasaan hatiku.
“Izinkan
saya bertaaruf denganmu.” Kataku pelan tapi penuh makna.
Kepalanya
tertunduk. Tangannya saling menjalin.
Gerakannya gelisah. Berarti dia mendengarkan semua ucapanku.
“Saya
hanya mencari tulang rusuk yang hilang. Saya masih sendiri. Mungkin tulang
rusuk itu kau yang memiliki dan menyimpannya.”
Kuberanikan
diriku berkata apa adanya. Aku jujur
berkata, itu suara hatiku. Harapanku, aku tak kehilangan kesempatan.
“Maafkan
saya kalau terlalu berani, tapi tolong dipikirkan. Mungkin kamu merasa saya tak
pantas. Tapi saya tak pandai berbasa basi.”
“Ini
kartu namaku, kau boleh menyimpannya. Saya tunggu jawaban walau hanya lewat
SMS.” Kubuka dompet, kuserahkan kartu
namaku. Hanya itu yang bias kulakukan.
Beberapa
teman Ida mendekat. Mereka bertanya basa basi tentang hasil akreditasi. Bahkan
ada yang memintaku untuk datang kembali ke Cluring.
“Visitasi
jilid dua Pak.”
“Lain
saat saya berkunjung secara pribadi ke Cluring.”
“Benar
Pak? Janji ya Pak. Kami setia menanti.”
Aku
berjanji untuk datang kembali. Setelah jawaban itu ada. Untuk visitasi jilid
dua (seperti kata mereka).
“Ayo
kita segera kembali ke bis, biar masih ada waktu buat istirahat sampai di
rumah.” Coordinator perjalanan meminta kami untuk segera berkumpul kembali.
Bis
kembali meluncur, kupesan pada sopir bis untuk menurunkanku di Paku Sari walau
aku lebih cepat bila turun di Glagah Kembar. Aku ingin berlama-lama dengan Ida.
Yang kini lebih diam. Kucoba untuk mengajaknya berbincang. Kupesankan kembali
kalau aku sungguh menunggu SMS darinya. Dia hanya mengangguk. Menjelang sampai
Paku Sari aku berpamitan pada mereka.
“Terima
kasih atas kunjungannya, jangan lupa untuk tetap menjalin tali silaturahmi.
Tetap berkabar apalagi kalau ada
kegiatan di kota ini. Tolong simpan nomor HP saya. 0852224273800.” Semua riuh
menjawab sapaanku. Aku bangga. Semoga kami tetap bisa berteman dengan baik.
Sampai
di Paku Sari aku turun. Kulambaikan tanganku. Setengah hatiku tertinggal
bersama mereka. Setengah hatiku berharap akan masa depan yang lebih baik.
Din … din… sebuah angkot mendekat di depanku.
Sopirnya melongok.
“Unej
Pak?” tanyanya penuh harap.
Kulihat
dua penumpang duduk di belakang. Naik angkot rasanya lebih baik. Sudah lama aku
tak pernah naik kendaraan umum ini. Sejak kesibukanku makin menjadi, kendaraan
pribadi menjadi lebih penting. Sopir masih menunggu, aku mengangguk.
Melangkahkan kaki naik dan duduk di sisi kiri. Seorang penumpang mengingsut
duduknya memberiku tempat yang lebih longgar. Aku tersenyum padanya dan
mengangguk. Dia membalas dengan senyuman.
Unej.
Ya, sampai Unej aku bisa jalan kaki ke rumah, atau naik becak yang banyak
berjajar di depan Unej dan sepanjang jalan Jawa. Terbayang dalam anganku, naik
becak berdua, berimpit dengan Ida. Lalu dia berteriak ketika kutunjukkan seekor
ulat kecil dipangkuannya. Seperti saat ini seekor ulat kecil tiba-tiba menempel
jatuh di paha kananku. Aku menjentiknya.
Haha… aku tersenyum sendiri. Sudah sedemikian jauh anganku mengembara.
HP
di saku bergetar. Sebuah SMS masuk. Nomor yang tidak kukenal. Hanya sebuah
sapaan.
“Pak…”
Mungkinkah
ini Ida? Tak ada pengenal apapun. Aku penasaran.
“Ya.”
Kulayangkan
balasan secepatnya. Dadaku berdegub lebih kencang. Ya Alloh, semoga ini Ida.
“Ida,
Pak.”
“Alhamdulillah,
terima kasih Ida.”
Kuusap wajahku dengan kedua tangan. Ungkapan
syukur mengalir di bibirku yang bergetar. Aku terguguk dalam hati. Semilir
angin malam ini. Memberi kesejukan baru. Menumbuhkan semangat baru. Kurasakan
betapa nikmat Alloh yang bertubi-tubi.
***
Yogyakarta, 24
Sept 2014
Kado
ulang tahun pernikahan buat cintaku.
Cerpen ini pernah dimuat Majalah Mentari edisi November 2014
No comments:
Post a Comment