Wednesday, March 7, 2018

cerita pendek

 Izinkan Aku Bertaaruf Denganmu

Oleh : Murmiyati

Staf pengajar di SMP Muhammadiyah 8 Yogyakarta

Fabiayyi aalaa i robbikumaa tukadzdzibaani…. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Tergetar hatiku mendengar ayat itu dibacakan. Ingatanku melayang pada almarhumah ibu. Wajahnya yang jernih, meneduhkan. Usapan tangannya di rambutku, selalu membuatku tak mampu berkutik. Apalagi saat beliau memintaku duduk di samping pembaringannya. Menyerahkan padaku, Al Qur’an yang bisaa beliau baca dan  memintaku untuk membacakan ayat-ayat itu. Aku duduk tepekur di sampingnya, beliau mengelus-elus rambutku.
“Menantu ibu akan bahagia hidup bersamamu, kau pandai membuat ibu bahagia.”
Aku hanya mengangguk. Namun rasa nyeri menjalar dimana-mana. Ibu tak tahu kalau aku tak lagi bersama  Iffa. Gadis yang selama ini menjadi dambaan ku, juga ibu. Iffa telah memilih jalan sendiri. Menjauh dariku, lepas dari hidupku.
Aku menunduk bayangan wajah ibu, mengharu biru hatiku. Aku kembali larut dalam lantunan Ar Rahman.
“Acara yang selanjutnya adalah sepatah dua patah kata dari Bapak Maskur dan Bapak Hadi selaku asesor, waktu dan tempat saya serahkan sepenuhnya.”
Mas Hadi, teman asesor ku memandangku dan tersenyum, memberi kode agar aku yang berbicara terlebih dahulu. Dengan memperbaiki duduk, aku tersenyum dan mulai menyapa.
Assalamualaikum warohmatullahi wa barokatuh. Terima kasih atas  sambutan yang telah diberikan. Saya tidak menyangka bahwa di SMP Cluring ini saya akan disambut oleh bidadari-bidadari cantik.” Arah pandangku menyapu seluruh ruangan dan terpaku pada seseorang yang duduk di sudut kanan. Jantungku berdegub lebih kencang. Kurasakan wajahku memanas. Aku segera mengalihkan pandanganku, namun sia-sia. Seperti ada magnet yang kuat yang menarikku untuk tetap melihat ke sudut kanan. “Kami berdua disini mendapat tugas untuk melakukan visitasi, mencocokkan antara berkas yang dikirim ke BAP dengan borang yang ada. Semoga kami dapat melaksanakan tugas ini dengan baik. Harapan kami,  kita dapat melakukan kerjasama yang baik. Sehingga apa yang kita harapkan semua bisa berjalan dengan lancar.”
“Dan ke depan karena Pak Maskur sudah mengatakan banyak bidadari cantik disini, siapa tahu ada yang…” suara Mas Hadi menggantung tak dilanjutkan.
Hadirin menanti kelanjutan kata-kata Mas Hadi. Aku tersindir. Memandang Mas Hadi penuh arti. Ah, tahu aja dia dengan hatiku yang sedang berbunga-bunga. Pandanganku kembali ke sudut kanan. Hanya dia yang tak menatapku. Yach siapa sih yang mau menatap pria setengah abad  dengan pandangan tertarik? Walau aku aku masih gagah dan tampan? Dan juga mapan? Tetapi aku memang harus tahu diri.
Wajahnya sedikit menunduk, aku melihat kegelisahan di wajahnya. Duduknya tak nyenyak. Sebentar-sebentar mengingsut. Tangannya yang ada di pangkuan bermain sendiri. Dia hidup dengan dunianya sendiri. Hanya tubuhnya yang ada disini. Hati dan pikirannya entah melayang kemana. Dalam  pandanganku dia semakin cantik saja. Semoga masih ada kesempatan buatku. Setelah sekian lama aku menutup diri, baru kali ini aku seperti mendapatkan kembali secercah sinar pengharapan.
Visitasi hari ini berjalan lancar. Saat adzan Ashar berkumandang, lima standart telah selesai. Leganya. Satu hari terlewati. Ini adalah hari pertama visitasi.
Ketika para petugas datang dengan membawa borang, seperti bisaa kami selalu menanyakan siapa namanya dan mengajar mata pelajaran apa.  Aku memintanya untuk menunjukkan perangkat mengajar yang telah dibuat juga borang yang dibutuhkan sebagai coordinator standar. Saat dia menunjukkan perangkatnya, dia menjelaskan dengan pelan dan bahasa yang tertata rapi.  Tubuhnya semampai, kulitnya bersih, suaranya lembut, merdu. Kacamata yang digunakannya memberi kesan sedikit angkuh.  Apalagi dia tipe orang  yang tak banyak bicara.
Di ruang Kepala Sekolah mataku menelusur, melihat daftar nama guru yang terpampang di dinding. Ternyata namanya Ida, guru Bahasa Inggris. Lahir tanggal 20 Januari 1973. Status TK.
***
“ Merenungkan yang tadi Mas?”
Mas Hadi bertanya setelah lama berdiam diri menikmati perjalanan. Jalanan menanjak Mayang Kumitir baru mulai. Aku sengaja meminta Mas Slamet, sopir andalanku untuk membuka jendela lebar-lebar, menikmati udara gunung walau  sudah sedikit tercemar.
“Yang mana Mas?” sahutku sambil tersenyum. Kami saling menyapa dengan sapaan tidak resmi karena kedekatan kami sejak di bangku kuliah.
“ Yang di sudut atau yang membaca Qur’an?”
“Ah… Sampeyan  sepertinya tahu apa yang saya pikirkan Mas?”
“Tadi Mas Maskur terpesona menyimak ayat yang dibacakan, tapi pandangan tak lepas dari sudut kanan. Hahaha .”
“Wah, ternyata Sampeyan jeli juga.” Kami tertawa bersama.
“Yang disudut status TK Mas.”
“Tahu darimana?” Hehe padahal aku juga sudah tahu.
“Wah pura-pura nggak tahu? Tadi di Ruang KS Mas Maskur asyik menelusuri identitas guru. Hahaha”
Salah tingkah aku jadinya. Ternyata Mas Hadi mengamati semua yang kulakukan. Padahal aku sudah berhati-hati dan menahan diri.
“Kalau ada getar, harus ditindak lanjuti. Menunggu akan jadi aus dan lupa lagi lho.” Katanya menggoda.
Ada benarnya apa yang dikatakan Mas Hadi. Harus segera ditindaklanjuti. Tapi aku baru melihatnya sekali. Belum tahu siapa dia sebenarnya. Mungkin status yang terpajang hanya karena dia PNS dan bersuami PNS. Jujur hatiku tergetar melihatnya pertama kali. Ada sesuatu yang menarikku untuk menatapnya tanpa henti. Sesuatu yang tak bisa kutolak atau kuhindari.
“Kok malah merenung lagi. Ayo action.”
“Berarti benar kan? Ada yang membuat bergetar?” katanya lagi menegaskan.
Aku mengangguk.
Jalanan yang kami lewati kian menanjak dan berliku. Pedagang pecel di kiri kanan jalan menawarkan dagangannya. Beberapa pengunjung berhenti menikmati pecel dan udara gunung yang sejuk, pemandangan alam yang masih alami. Beberapa penduduk yang menjadi pemandu jalan tampak mengacung-acungkan tangannya. Memberi tahu keadaan jalan sekaligus mengais recehan yang dilemparkan pengguna jalan. Hari sudah menjelang malam. Suasana kian temaram. Kendaraan melaju, ingin segera mencapai rumah.
***
Pagi yang cerah, secerah hatiku. Banyak yang kupikirkan semalam, semua membuatku lebih bersemangat untuk melangkah. Walau harus menepuh puluhan kilo untuk mencapai lokasi visitasi. Langkahku menjadi lebih ringan, maka ketika Mas Slamet datang aku sudah siap.
“Wah saya kesiangan ya Pak?” katanya merasa bersalah.
Melihat mobil sudah di luar dalam keadaan mesin hidup. Dia segera mengambil kanebo untuk melap mobil.
“Tidak Met, saya hanya ingin bersiap lebih awal karena perjalanan yang akan kita tempuh lumayan jauh.”
“Kita berangkat sekarang Pak?”
“Ya nunggu Mas Hadi dulu, daripada berangkat sendiri-sendiri lebih baik berdua kan?”
“Ya iyalah Pak, berdua lebih enak dan lebih baik. Hahaha.” Ada nada berbeda dalam tawanya kali ini.
“Maksudmu? Kenapa kau bilang berdua sambil tertawa? Bukankah kemarin juga berdua?”
“Hahaha lebih enak lagi berdua sama…”
“Sama siapa?” tanyaku penasaran mendengar kata-katanya.
“Sama… “
“Wah bicaramu nggak jelas Met…”
“Itu lho Pak, berdua sama yang dibicarakan Pak Hadi kemarin hehe”
Nguping rupanya kau Met… kau tahu apa tentang dia?”
“Daripada kemana-mana cuma berdua sama saya kan lebih baik bertiga kan Pak. Saya rela jadi obat nyamuk.”
“Walah Met, Met… aku juga baru lihat sekali, kemarin. Aku juga belum yakin kalau dia masih sendiri. Semoga saja hari ini aku  beruntung  masih bisa bertemu lagi hahaha.”
“Wah…  makanya Bapak pagi-pagi sudah siap, ternyata ada maunya. Semoga hari ini bertemu lagi. juga untuk hari-hari kedepan Pak.”
“Itu yang susah Met. Hari ini hari terakhir visitasi.”
“Minta nomor telponnya saja Pak. Beres.”
“Beres gimana?”
“Kan bisa terus telpon, SMS, WA, atau BBM an Pak?”
“Itu kalau kamu Met.”
Betul juga kata Slamet, harus bisa mendapat nomor HP nya. Tapi bagaimana caranya? Ah … pasti ada cara lain yang lebih cantik. Aku percaya. Kalau aku benar-benar menginginkan pasti akan ada jalan.
Tak lama kemudian Mas Hadi datang. Kami kemudian meluncur ke SMP Cluring. Sepanjang perjalanan kami mempersiapkan diri. Mendalami kembali petunjuk dan hasil visitasi hari kemarin. Sedikit berdiskusi tentang kondisi sekolah dan borang yang kami teliti.
Hari ini kami rencanakan sebelum dhuhur selesai. Melihat kesiapan sekolah dalam mempersiapkan visitasi, prediksi kami akan bisa selesai sebelum waktunya.
Ketika kami sampai di lokasi, semua sudah tertata rapi. Petugas akreditasi sudah siap di tempat. Mereka menyambut kami dan meminta kami untuk melakukan foto bersama. Semoga dia juga ikut berfoto ria kataku dalam  hati.
Hai…  kau datang kemari untuk tugas visitasi, bukan untuk melirik sana sini, kata hatiku yang lain. Aku tidak melirik, tapi menatapnya dan mencari tatapan matanya. Biarkan aku menikmati bahagiaku kembali. Benarkah dia akan menjadi bahagiamu? Apakah dia mau denganmu? Bukankah kau belum tahu pasti siapa dia dan bagaimana statusnya. Aku akan mencari tahu. Biarkan aku menggapai bahagiaku.
                “Kita mulai sekarang Pak?” Kepala Sekolah bertanya padaku.
                “Baik, lebih cepat lebih baik.” Kataku sambil melangkah menuju ruang yang sudah dipersiapkan.
Kulihat beberapa petugas akreditasi bersiap di depan borang yang sudah dipersiapkan dengan rapi. Dua orang guru duduk dekat dengan mejaku. Salah satunya Ida. Dia sibuk dengan catatan yang ada ditangannya. Tak sedikitpun dia melirikku, apalagi menatap.  Seolah-olah kami tak pernah ada. Angkuh. Itu kesanku. Tapi justru keangkuhan itulah yang membuatku lebih tertantang untuk bisa menaklukkannya. Semoga Alloh meridhoi.
Masih tiga standar yang harus kami cocokkan antara data yang masuk dengan borang yang ada. Standar pengelolaan, berjalan mulus. Tak butuh waktu panjang saat menangani standar ini. Petugasnya cukup komunikatif dan menjawab setiap pertanyaan dengan sigap dan tangkas. Dibantu beberapa teman yang siap menyiapkan borang yang dibutuhkan. Walau sebenarnya borang itu sudah tertata rapi di ruangan yang digunakan visitasi.
Standar berikutnya tak terlalu banyak berbeda karena borang sudah siap ditempat. Terakhir standar penilaian, standar yang paling berat pertanggungjawabannya karena menghimpun hasil kerja seluruh guru.  Pada standar ini lebih cepat lagi selesai karena petugas telah menyiapkan seluruh borang tanpa kecuali. Semua diberi sampul yang menarik walau selintas menimbulkan kesan bahwa itu barang baru semua. Tapi ide cantik ini membuat semua menjadi lebih cepat dan mudah dalam pengecekan borang.
Kumandang adzan dhuhur terdengar saat kami menyelesaikan tugas. Lega. Tugas telah terselesaikan, kami tinggal menyusun laporan dan melaporkan hasinya.
Acara penutupan dilaksanakan seusai sholat dhuhur. Tak banyak kesan dan pesan yang bisa kusampaikan. Mas Hadi yang lebih banyak menyampaikan hal itu. Aku berterima kasih sekali kepada Mas Hadi.  Karena dengan spontan dia   mengundang  keluarga besar SMP Cluring untuk berkunjung ke kota kami, sebagai balasan karena telah menerima kami dengan  baik.
“Kami menyambut baik undangan Bapak, karena kebetulan kami akan melaksanakan refreshing minggu depan ke Pantai . Kami berharap Bapak tidak terkejut karena kami datang satu bis.Hahaha…” Kepala Sekolah langsung menyambut tawaran Mas Hadi.
“Kalau di rumah saya terlalu sempit, bias ke rumah Pak Maskur juga. Rumahnya seluas lapangan bola.  Kebetulan rumah kami berdekatan.” Mas Hadi kembali menawarkan. M
Kami semua tertawa, mereka kasuk kusuk mengiyakan tawaran kami.
***
Ternyata ini bukan basa-basi. Mereka benar-benar datang satu bis. Aku menawarkan diri untuk menjadi pemandu. Teman-teman Ida memberi kesempatan padaku untuk duduk di sampingnya. Pucuk dicinta ulam tiba. Kucuri kesempatan itu untuk mendekat pada Ida.   Aku bukan remaja yang mudah jatuh cinta kembali. Tapi  tak kuingkari kalau berulang-ulang dadaku berdebar kencang.
Aku berusaha menjadi pemandu yang baik. Menjadi penunjuk jalan menuju pantai. Mencari tempat belanja oleh-oleh. Terakhir singgah di Masjid Besar untuk  melaksanakan Sholat Maghrib. Suasana masjid yang ramai membuat kami tidak bisa serentak melaksanakan sholat. Saat aku keluar, kulihat Ida duduk di serambi dekat tangga, sendiri menunggu beberapa tas yang ada di sampingnya.
“Lelah Bu?” tanyaku.
“Hehe, iya Pak.” Sahutnya sambil tersenyum. Dimataku senyumnya manis sekali saat ini.
“Kalau lelah, pulang besok saja Bu. Nginap disini dulu.”
“Hehe… ”dia hanya menjawab dengan tawa kecil, wajahnya tersipu.
“Tapi kasian keluarga juga ya, anak-anak dan suami pasti menunggu.” kataku selanjutnya.
“Ah enggak Pak.”
“Ooo, jadi sudah pamit kalau tidak pulang?” ucapku mencoba mencandai.
“Bukan begitu Pak, saya hanya tinggal bersama kakak. Jadi nggak ada yang menunggu.” Ida mencoba memberi penjelasan.
“Maafkan saya kalau menyinggung.” Tulus aku meminta maaf. Jangan sampai tersinggung, kataku dalam hati.
“Tidak apa-apa Pak. Sudah bisa.” Pandangannya menerawang, jauh.
“Ehm… boleh saya berkata sesuatu?”
Dia diam. Sepertinya tak mendengar pertanyaanku, Aku tak sabar ingin mengatakan perasaan hatiku.
“Izinkan saya bertaaruf denganmu.” Kataku pelan tapi penuh makna.
Kepalanya  tertunduk. Tangannya saling menjalin. Gerakannya gelisah. Berarti dia mendengarkan semua ucapanku.
“Saya hanya mencari tulang rusuk yang hilang. Saya masih sendiri. Mungkin tulang rusuk itu kau yang memiliki dan menyimpannya.”
Kuberanikan diriku berkata apa adanya.  Aku jujur berkata, itu suara hatiku. Harapanku, aku tak kehilangan kesempatan.
“Maafkan saya kalau terlalu berani, tapi tolong dipikirkan. Mungkin kamu merasa saya tak pantas. Tapi saya tak pandai berbasa basi.”
“Ini kartu namaku, kau boleh menyimpannya. Saya tunggu jawaban walau hanya lewat SMS.” Kubuka  dompet, kuserahkan kartu namaku. Hanya itu yang bias kulakukan.
Beberapa teman Ida mendekat. Mereka bertanya basa basi tentang hasil akreditasi. Bahkan ada yang memintaku untuk datang kembali ke Cluring.
“Visitasi jilid dua Pak.”
“Lain saat saya berkunjung secara pribadi ke Cluring.”
“Benar Pak? Janji ya Pak. Kami setia menanti.”
Aku berjanji untuk datang kembali. Setelah jawaban itu ada. Untuk visitasi jilid dua (seperti kata mereka).
“Ayo kita segera kembali ke bis, biar masih ada waktu buat istirahat sampai di rumah.” Coordinator perjalanan meminta kami untuk segera berkumpul kembali.
Bis kembali meluncur, kupesan pada sopir bis untuk menurunkanku di Paku Sari walau aku lebih cepat bila turun di Glagah Kembar. Aku ingin berlama-lama dengan Ida. Yang kini lebih diam. Kucoba untuk mengajaknya berbincang. Kupesankan kembali kalau aku sungguh menunggu SMS darinya. Dia hanya mengangguk. Menjelang sampai Paku Sari aku berpamitan pada mereka.
“Terima kasih atas kunjungannya, jangan lupa untuk tetap menjalin tali silaturahmi. Tetap berkabar  apalagi kalau ada kegiatan di kota ini. Tolong simpan nomor HP saya. 0852224273800.” Semua riuh menjawab sapaanku. Aku bangga. Semoga kami tetap bisa berteman dengan baik.
Sampai di Paku Sari aku turun. Kulambaikan tanganku. Setengah hatiku tertinggal bersama mereka. Setengah hatiku berharap akan masa depan yang lebih baik. 
                Din … din… sebuah angkot mendekat di depanku. Sopirnya melongok.
“Unej Pak?” tanyanya penuh harap.
Kulihat dua penumpang duduk di belakang. Naik angkot rasanya lebih baik. Sudah lama aku tak pernah naik kendaraan umum ini. Sejak kesibukanku makin menjadi, kendaraan pribadi menjadi lebih penting. Sopir masih menunggu, aku mengangguk. Melangkahkan kaki naik dan duduk di sisi kiri. Seorang penumpang mengingsut duduknya memberiku tempat yang lebih longgar. Aku tersenyum padanya dan mengangguk. Dia membalas dengan senyuman.
Unej. Ya, sampai Unej aku bisa jalan kaki ke rumah, atau naik becak yang banyak berjajar di depan Unej dan sepanjang jalan Jawa. Terbayang dalam anganku, naik becak berdua, berimpit dengan Ida. Lalu dia berteriak ketika kutunjukkan seekor ulat kecil dipangkuannya. Seperti saat ini seekor ulat kecil tiba-tiba menempel jatuh di paha kananku. Aku menjentiknya.  Haha… aku tersenyum sendiri. Sudah sedemikian jauh anganku mengembara.
HP di saku bergetar. Sebuah SMS masuk. Nomor yang tidak kukenal. Hanya sebuah sapaan.
“Pak…”
Mungkinkah ini Ida? Tak ada pengenal apapun. Aku penasaran.
“Ya.”
Kulayangkan balasan secepatnya. Dadaku berdegub lebih kencang. Ya Alloh, semoga ini Ida.
“Ida, Pak.”
“Alhamdulillah, terima kasih Ida.”
 Kuusap wajahku dengan kedua tangan. Ungkapan syukur mengalir di bibirku yang bergetar. Aku terguguk dalam hati. Semilir angin malam ini. Memberi kesejukan baru. Menumbuhkan semangat baru. Kurasakan betapa nikmat Alloh yang bertubi-tubi.
***
                                Yogyakarta, 24 Sept 2014
Kado ulang tahun pernikahan buat cintaku. 

Cerpen ini pernah dimuat Majalah Mentari edisi November 2014

No comments:

Post a Comment