Wednesday, March 7, 2018

edukasi



Melatih Anak Mengambil Keputusan

Oleh Murmiyati Hadi Santoso

Seorang ibu membawa anak usia lima tahun ke sebuah toko mainan. Setelah melihat kesana kemari, memperhatikan si anak berdiri terpana di depan salah satu etalase, sang ibu bertanya.
“Mainan mana yang hendak dipilih Nak?”
“Manut Mama aja.”
“Tadi katanya mau pilih robot?”
“Terserah Mama aja.”
“Mau yang ini? Atau yang itu? Yang ada dalam etalase?”
“Mama aja yang pilih. Terserah mama aja!”
“Lho, Mas harus belajar memilih dong. Nanti kalau mama yang pilih, kamu nggak suka?”
“Terserah Mama aja.”
Berulang kali si anak mengatakan semua terserah mama saja. Orang tua sudah mencoba memberikan tawaran, mengingatkan keinginan si anak untuk membeli robot. Namun karena banyak model dan jenis robot maka orang tua memberi kesempatan pada anak untuk memilih. Apa yang terjadi? Si anak tetap tak mau menjatuhkan pilihan, walau sebelumnya dia sudah melihat-lihat dan terpana melihat salah satu robot yang dipajang.
Bila keadaan sudah seperti ini,  sebenarnya sebuah masalah yang besar menghadang di depan kita. Ternyata anak kita tidak mampu memilih. Mengapa hal ini terjadi? Bisa jadi ini terjadi karena kesalahan kita. Karena kita tidak mengajarkan pada mereka bagaimana cara memilih, atau kita tidak pernah memberikan kesempatan pada mereka untuk memilih. Sering terjadi kita sebagai orang tua memberi kesempatan anak untuk memilih tetapi tawaran itu hanya semu, karena kita sudah mempunyai pilihan dan berusaha menggiring anak untuk memilih sesuai pilihan kita.
Dalam ilustrasi tadi digambarkan bagaimana seorang anak diajak oleh ibunya untuk membeli mainan. Anak ditawari untuk memilih, namun si anak menyerahkan semua pada sang ibu. Hal ini bisa terjadi salah satunya adalah karena sang ibu terlalu sering “mengarahkan” anak dalam memilih. Sebenarnya anak sudah memiliki pilihan sendiri. Bahkan pada beberepa anak sampai menangis untuk mempertahankan pilihannya. Orang tua menuruti kehendak anak untuk membeli mainan namun dengan syarat. Boleh membeli tapi tidak yang mahal-mahal. Boleh membeli tapi tidak boleh nakal. Boleh membeli tapi…. Terlalu banyak syarat, terlalu banyak tetapi yang harus diingat, maka hal yang wajar bila anak akhirnya menyerahkan semua keputusan pada orang tua. Sebuah pengalaman mengajarkan pada anak   bahwa membeli mainan adalah mainan yang diinginkan orang tua, bukan yang diinginkan anak. Bila hal ini sering terjadi dan berulang, maka baying-bayang suram ada di hadapan anak kita.
Hidup adalah pilihan. Banyak hal mengharuskan kita menjatuhkan pilihan yang tepat. Menjatuhkan pilihan tidak selalu pada hal-hal yang besar, bahkan hal yang kecilpun kita dituntut untuk memilih. Hal-hal kecil yang selalu dihadapkan pada kita untuk memilih diantaranya adalah memilih dua hal yang berbeda atau bertentangan. Duduk atau berdiri, mandi atau tidak, makan atau tidak makan, bangun pagi atau siang, membaca atau menonton televise, tidur atau begadang, dalam hal ini kita dituntut untuk memilih.  Belum lagi hal-hal yang lebih besar dan lebih kompleks. Memilih sekolah dimana, mau belajar apa, memilih kegiatan apa, mecari pekerjaan yang bagaimana, dan sebagainya. maka kemampuan memilih harus dilatihkan pada anak sejak dini.
Sikap anak mayoritas adalah duplikat orang tua. Sikap ini didapat dari pendidikan sehari-hari yang diterapkan oleh orang tua pada anak. Pada sebagian yang lain, anak menjadi peniru ulung. Meniru apapun yang dilakukan oleh orang tua. Karena orang tua sebagai teladan terdekat bagi anak. Anak yang terbiasa menyerahkan semua keputusan pada orang tua tentunya akan sangat berpengaruh pada saat anak tersebut dewasa nanti. Dalam pertumbuhan anak menuju remaja dan dewasa dituntut untuk memiliki kemampuan memilih. Baik itu untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.
Bagaimana mengatasi hal ini bila sudah terlanjur? Masihkan kita punya kesempatan untuk memperbaikinya? Semua tergantung pada usaha kita.
Sebuah pengalaman mengajarkan bahwa bila hal ini terjadi pada anak-anak kita, maka kita harus segera melakukan evaluasi diri dan mengubah sikap. Mengubah sikap anak bukan hal yang mudah, perlu waktu dan disiplin. Hal pertama yang harus dilakukan adalah kita harus berani memberi kesempatan sepenuhnya pada anak untuk memilih. Selain itu kita juga harus disiplin. Dalam arti kita harus tega tidak memberikan apapun pada anak pada saat mereka tidak menjatuhkan pilihan. Sebagai contoh yang mudah, kita menawarkan anak untuk makan sekarang atau nanti. Bila anak tidak menjatuhkan pilihan, kita harus berani tidak memberi makan walau melihatnya kelaparan. Dari pelajaran pertama ini sebenarnya kita memberi tahu anak bahwa dia harus belajar menjatuhkan pilihan. Pada kondisi seperti ini biasanya orang tua tidak tega dan lupa pada disiplin yang harus kita terapkan. Sikap tidak tega dan merasa kasihan untuk sementara harus kita singkirkan. Karena kita ingin memiliki anak yang terampil dalam mengambil keputusan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Mengajarkan anak untuk menjatuhkan pilihan perlu proses dan butuh waktu yang lama. Karena kita ingin anak kita tidak merasa kaget ketika kita meminta mereka untuk memilih. Kesabaran dan ketelatenan sangat dibutuhkan. Kita bisa mengajarkan anak menjatuhkan pilihan tidak dalam satu waktu. Juga usahakan mengajarkan anak memilih dalam suasana yang menyenangkan, rileks, dengan senda gurau, sehingga anak tidak merasa bila sedang dilatih untuk menjatuhkan pilihan. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengajarkan anak menjatuhkan pilihan. Melibatkan anak dalam mengambil keputusan, melakukan komunikasi intensif, mendampingi dalam bermain, mengajarkan untuk mengatur waktu, merupakan hal-hal yang bisa mendukung anak dalam menjatuhkan pilihan.





Naskah ini dimuat pada Majalah Mentari edisi April 2016

No comments:

Post a Comment