Melatih Anak
Mengambil Keputusan
Oleh Murmiyati
Hadi Santoso
Seorang ibu
membawa anak usia lima tahun ke sebuah toko mainan. Setelah melihat kesana
kemari, memperhatikan si anak berdiri terpana di depan salah satu etalase, sang
ibu bertanya.
“Mainan mana
yang hendak dipilih Nak?”
“Manut Mama
aja.”
“Tadi katanya
mau pilih robot?”
“Terserah Mama
aja.”
“Mau yang ini?
Atau yang itu? Yang ada dalam etalase?”
“Mama aja yang
pilih. Terserah mama aja!”
“Lho, Mas harus
belajar memilih dong. Nanti kalau mama yang pilih, kamu nggak suka?”
“Terserah Mama
aja.”
Berulang
kali si anak mengatakan semua terserah mama saja. Orang tua sudah mencoba
memberikan tawaran, mengingatkan keinginan si anak untuk membeli robot. Namun
karena banyak model dan jenis robot maka orang tua memberi kesempatan pada anak
untuk memilih. Apa yang terjadi? Si anak tetap tak mau menjatuhkan pilihan,
walau sebelumnya dia sudah melihat-lihat dan terpana melihat salah satu robot
yang dipajang.
Bila
keadaan sudah seperti ini, sebenarnya
sebuah masalah yang besar menghadang di depan kita. Ternyata anak kita tidak
mampu memilih. Mengapa hal ini terjadi? Bisa jadi ini terjadi karena kesalahan
kita. Karena kita tidak mengajarkan pada mereka bagaimana cara memilih, atau
kita tidak pernah memberikan kesempatan pada mereka untuk memilih. Sering
terjadi kita sebagai orang tua memberi kesempatan anak untuk memilih tetapi
tawaran itu hanya semu, karena kita sudah mempunyai pilihan dan berusaha
menggiring anak untuk memilih sesuai pilihan kita.
Dalam
ilustrasi tadi digambarkan bagaimana seorang anak diajak oleh ibunya untuk
membeli mainan. Anak ditawari untuk memilih, namun si anak menyerahkan semua
pada sang ibu. Hal ini bisa terjadi salah satunya adalah karena sang ibu
terlalu sering “mengarahkan” anak dalam memilih. Sebenarnya anak sudah memiliki
pilihan sendiri. Bahkan pada beberepa anak sampai menangis untuk mempertahankan
pilihannya. Orang tua menuruti kehendak anak untuk membeli mainan namun dengan
syarat. Boleh membeli tapi tidak yang mahal-mahal. Boleh membeli tapi tidak
boleh nakal. Boleh membeli tapi…. Terlalu banyak syarat, terlalu banyak tetapi
yang harus diingat, maka hal yang wajar bila anak akhirnya menyerahkan semua
keputusan pada orang tua. Sebuah pengalaman mengajarkan pada anak bahwa membeli mainan adalah mainan yang
diinginkan orang tua, bukan yang diinginkan anak. Bila hal ini sering terjadi
dan berulang, maka baying-bayang suram ada di hadapan anak kita.
Hidup
adalah pilihan. Banyak hal mengharuskan kita menjatuhkan pilihan yang tepat.
Menjatuhkan pilihan tidak selalu pada hal-hal yang besar, bahkan hal yang
kecilpun kita dituntut untuk memilih. Hal-hal kecil yang selalu dihadapkan pada
kita untuk memilih diantaranya adalah memilih dua hal yang berbeda atau
bertentangan. Duduk atau berdiri, mandi atau tidak, makan atau tidak makan,
bangun pagi atau siang, membaca atau menonton televise, tidur atau begadang,
dalam hal ini kita dituntut untuk memilih.
Belum lagi hal-hal yang lebih besar dan lebih kompleks. Memilih sekolah
dimana, mau belajar apa, memilih kegiatan apa, mecari pekerjaan yang bagaimana,
dan sebagainya. maka kemampuan memilih harus dilatihkan pada anak sejak dini.
Sikap
anak mayoritas adalah duplikat orang tua. Sikap ini didapat dari pendidikan
sehari-hari yang diterapkan oleh orang tua pada anak. Pada sebagian yang lain,
anak menjadi peniru ulung. Meniru apapun yang dilakukan oleh orang tua. Karena
orang tua sebagai teladan terdekat bagi anak. Anak yang terbiasa menyerahkan
semua keputusan pada orang tua tentunya akan sangat berpengaruh pada saat anak
tersebut dewasa nanti. Dalam pertumbuhan anak menuju remaja dan dewasa dituntut
untuk memiliki kemampuan memilih. Baik itu untuk dirinya sendiri atau untuk
orang lain.
Bagaimana
mengatasi hal ini bila sudah terlanjur? Masihkan kita punya kesempatan untuk
memperbaikinya? Semua tergantung pada usaha kita.
Sebuah
pengalaman mengajarkan bahwa bila hal ini terjadi pada anak-anak kita, maka
kita harus segera melakukan evaluasi diri dan mengubah sikap. Mengubah sikap
anak bukan hal yang mudah, perlu waktu dan disiplin. Hal pertama yang harus
dilakukan adalah kita harus berani memberi kesempatan sepenuhnya pada anak
untuk memilih. Selain itu kita juga harus disiplin. Dalam arti kita harus tega
tidak memberikan apapun pada anak pada saat mereka tidak menjatuhkan pilihan.
Sebagai contoh yang mudah, kita menawarkan anak untuk makan sekarang atau
nanti. Bila anak tidak menjatuhkan pilihan, kita harus berani tidak memberi
makan walau melihatnya kelaparan. Dari pelajaran pertama ini sebenarnya kita
memberi tahu anak bahwa dia harus belajar menjatuhkan pilihan. Pada kondisi
seperti ini biasanya orang tua tidak tega dan lupa pada disiplin yang harus
kita terapkan. Sikap tidak tega dan merasa kasihan untuk sementara harus kita
singkirkan. Karena kita ingin memiliki anak yang terampil dalam mengambil
keputusan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Mengajarkan
anak untuk menjatuhkan pilihan perlu proses dan butuh waktu yang lama. Karena
kita ingin anak kita tidak merasa kaget ketika kita meminta mereka untuk
memilih. Kesabaran dan ketelatenan sangat dibutuhkan. Kita bisa mengajarkan
anak menjatuhkan pilihan tidak dalam satu waktu. Juga usahakan mengajarkan anak
memilih dalam suasana yang menyenangkan, rileks, dengan senda gurau, sehingga
anak tidak merasa bila sedang dilatih untuk menjatuhkan pilihan. Banyak hal
yang bisa kita lakukan untuk mengajarkan anak menjatuhkan pilihan. Melibatkan
anak dalam mengambil keputusan, melakukan komunikasi intensif, mendampingi
dalam bermain, mengajarkan untuk mengatur waktu, merupakan hal-hal yang bisa
mendukung anak dalam menjatuhkan pilihan.
No comments:
Post a Comment