Wednesday, March 7, 2018

cerita pendek


WANITA YANG PALING KUBENCI
Murmiyati Hadi Santoso

“Ayo bangun… ini sudah di sekolah.”
                Suara yang lembut itu menyentuh gendang telingaku. Disertai tepukan di pundak kanan beberapa kali. Tepukan yang lembut. Aku seperti dininabobokkan kembali. Tepukan itu berulang di punggung kiriku.
                “Bangun Nak… ayoo bangun dulu…”
                Kembali suara lembut itu membisik di telinga.  Kurasakan pijatan  yang lebih kuat di pundak kananku. Sakit. Kutegakkan badan. Tawa cekikikan terdengar di sana-sini.
                “Dasar tukang tidur.”
                 Mata ini berat untuk membuka. Kupaksa untuk melek. Sinar yang tertangkap membuat mataku kriyip-kriyip.
                “Cuci muka dulu Fahri.”
 Sebuah perintah yang menyihir. Seperti boneka, aku berjalan keluar menuju kamar kecil untuk cuci muka  berlama-lama.  Kelopak mata ini seperti ada pemberatnya. Kembali masuk ke ruang kelas.  Kembali pada kegiatan semula. Belajar bahasa.
Suaranya yang merdu itu kian sayup. Mata ini tak mau  diajak kompromi. Melekat erat. Maklum, semalam aku pulang jam tiga dini hari. Karena kami, aku, Irvan dan Evan baru saja uji nyali, semalaman di petilasan Raden Rangga yang menurut berita sangat angker.   
“Bangun Nak, masih pagi.” Sebuah tepukan di pundak mengganggu nyenyakku.
“Ayo Nak, bangun dulu.” Suara lembut itu kembali terdengar.
Aku merasa kaki kananku pegal sekali. Kucoba luruskan, menyentuh kaki meja dan menimbulkan bunyi. Aku menggeliat.
“Bangun… bangun… sudah siang…”
Suara-suara yang memintaku bangun bersahutan.
“He bangun, mau sekolah apa tidur sih?”
“Kalau Cuma tidur pulang aja!” suara cempreng itu kembali terdengar.
“Bangun Nak….”
Suaranya kembali terdengar. Tangannya memijit pundak kananku. Kuenyahkan tangannya dengan gerakan kasar.
Kucoba buka mataku. Semua siswa memandangku dengan berjuta tatapan mata, menuduh. Seorang wanita bertubuh tinggi semampai berkaca mata memandangku dengan senyuman. Benci rasanya aku melihatnya. Dibalik tatapannya itu, aku melihat seringai serigala.
“Aku nggak suka ditegur berulang-ulang.” Teriakku.
“Kamu marah Nak?”
Pertanyaan yang sinis. Aku menatapnya garang. Dia tetap dengan senyumannya.
“Baiklah, Ibu tak akan menegurmu lagi.”
Kelas jadi sunyi. Wanita itu menatap semua siswa. Satu per satu. Seperti ingin mendalami isi hati mereka semua. Kulihat siswa lain menatapku janggal. Hening.
“Mari kita lanjutkan pembahasan ya Nak.”
Keheningan itu terkoyak oleh suaranya yang lembut namun penuh wibawa. Senyumnya tetap menghias bibirnya yang tipis. Aku merasa senyuman itu seperti mengejekku, melecehkanku. Tak sekalipun dia menatapku kembali. Melirikpun tidak.
 Wanita itu kembali mengutak utik mouse. Semua menatap layar, tayangan  itu menyilaukanku.  Silau… ya sangat silau. Kupejamkan kembali mataku. Masih terasa sinar dari layar menembus kelopak mata.
Sinar itu membentuk bayang-bayang. Sebuah siluet, yang semakin lama semakin jelas.  Seekor kuda yang gagah berwarna coklat kehitaman, berlari kencang kearahku. Berlari kencang, meninggalkan debu-debu menggulung di belakangnya. Aku mencoba menyisih dari lintasan. Kakiku berat untuk melangkah.  Seluruh tenagaku hilang lenyap. Aku terpuruk. Lari kuda itu semakin dekat. Kulihat jelas bentuk kaki yang kokoh, paha yang kuat, saling berebut melangkah. Debu bergulung-gulung. Telapak kaki kuda itu serasa hendak menyentuh wajah. Kutekuk wajahku, menunggu kaki kuda itu melintas di mukaku, menginjak keras tubuhku yang tanda daya. Tengkukku dingin. Tak ada suara lain yang terdengar. Kututup mataku. Kututup  telingaku. Aku menunggu.
                Kudengar jelas hentakan kaki kuda di telinga. Saat itu pula kurasa sebuah tangan menggapai lenganku. Mencengkeram pundak dengan keras. Menyeretku berlari kencang. Tubuhku terombang-ambing, terbentur-bentur. Perih,  ngilu. Aku meronta. Menggapai apa yang aku bisa. Memegang apa yang bisa kupegang. Tangan kananku menyerang membabi buta. Menyentuh yang bisa kusentuh. Aku merasa ranting yang kupegang mengenai sesuatu. Kudengar  sebuah keluh.
Keriuhan terdengar dimana-mana. Suara menjerit-jerit melengking di telingaku. Aku merasa keringat menetes di punggung ku.
“Fahri… jangan…”
“Hentikan Fahri… berhenti.”
“Tolong… tolong… tolong…”
“Fahri… brenti..”
“Dasar anak nggak tau diuntung.”
Aku seperti mengenal suara-suara itu. Dua pasang tangan mengunciku.
“Irfan… hati-hati… cutter ditangan.”
Aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Genggamanku kian erat.
“Fahri… sadar Fahri… sadar….”
Kucoba membuka mata. Silau. Kembali kudapati wajah wanita itu. Diantara kerumunan para siswa, dengan wajah-wajah yang penuh rasa ingin tahu.
Allohu Akbar… Allohu Akbar…
Sayup-sayup suara adzan berkumandang. Tangan kananku bergetar. Cutter kecil di tanganku terjatuh. Kupandangi wajah wanita yang ada  di hadapanku.  Tatapan matanya masih teduh. Sesak dadaku. Masih seperti dulu. Sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Warna merah melumuri seluruh lengannya. Pangkal lengannya menganga. Darah menetes-netes dari ujung jarinya. Aku luruh, di kaki wanita yang paling kubenci. Istri ayahku. 




2 comments: