WANITA YANG PALING KUBENCI
Murmiyati
Hadi Santoso
“Ayo bangun… ini sudah di sekolah.”
Suara yang lembut itu menyentuh
gendang telingaku. Disertai tepukan di pundak kanan beberapa kali. Tepukan yang
lembut. Aku seperti dininabobokkan kembali. Tepukan itu berulang di punggung kiriku.
“Bangun Nak… ayoo bangun dulu…”
Kembali suara lembut itu
membisik di telinga. Kurasakan
pijatan yang lebih kuat di pundak kananku.
Sakit. Kutegakkan badan. Tawa cekikikan terdengar di sana-sini.
“Dasar tukang tidur.”
Mata ini berat untuk membuka. Kupaksa untuk melek. Sinar yang tertangkap membuat
mataku kriyip-kriyip.
“Cuci muka dulu Fahri.”
Sebuah perintah yang menyihir.
Seperti boneka, aku berjalan keluar menuju kamar kecil untuk cuci muka berlama-lama. Kelopak mata ini seperti ada pemberatnya.
Kembali masuk ke ruang kelas. Kembali
pada kegiatan semula. Belajar bahasa.
Suaranya yang merdu itu kian sayup. Mata ini tak mau diajak kompromi. Melekat erat. Maklum,
semalam aku pulang jam tiga dini hari. Karena kami, aku, Irvan dan Evan baru
saja uji nyali, semalaman di petilasan Raden Rangga yang menurut berita sangat
angker.
“Bangun Nak, masih pagi.” Sebuah tepukan di pundak mengganggu nyenyakku.
“Ayo Nak, bangun dulu.” Suara lembut itu kembali terdengar.
Aku merasa kaki kananku pegal sekali. Kucoba luruskan, menyentuh kaki
meja dan menimbulkan bunyi. Aku menggeliat.
“Bangun… bangun… sudah siang…”
Suara-suara yang memintaku bangun bersahutan.
“He bangun, mau sekolah apa tidur sih?”
“Kalau Cuma tidur pulang aja!” suara cempreng itu kembali terdengar.
“Bangun Nak….”
Suaranya kembali terdengar. Tangannya memijit pundak kananku. Kuenyahkan
tangannya dengan gerakan kasar.
Kucoba buka mataku. Semua siswa memandangku dengan berjuta tatapan mata,
menuduh. Seorang wanita bertubuh tinggi semampai berkaca mata memandangku
dengan senyuman. Benci rasanya aku melihatnya. Dibalik tatapannya itu, aku
melihat seringai serigala.
“Aku nggak suka ditegur berulang-ulang.” Teriakku.
“Kamu marah Nak?”
Pertanyaan yang sinis. Aku menatapnya garang. Dia tetap dengan
senyumannya.
“Baiklah, Ibu tak akan menegurmu lagi.”
Kelas jadi sunyi. Wanita itu menatap semua siswa. Satu per satu. Seperti
ingin mendalami isi hati mereka semua. Kulihat siswa lain menatapku janggal.
Hening.
“Mari kita lanjutkan pembahasan ya Nak.”
Keheningan itu terkoyak oleh suaranya yang lembut namun penuh wibawa.
Senyumnya tetap menghias bibirnya yang tipis. Aku merasa senyuman itu seperti
mengejekku, melecehkanku. Tak sekalipun dia menatapku kembali. Melirikpun
tidak.
Wanita itu kembali mengutak utik
mouse. Semua menatap layar, tayangan itu
menyilaukanku. Silau… ya sangat silau.
Kupejamkan kembali mataku. Masih terasa sinar dari layar menembus kelopak mata.
Sinar itu membentuk bayang-bayang. Sebuah siluet, yang semakin lama
semakin jelas. Seekor kuda yang gagah
berwarna coklat kehitaman, berlari kencang kearahku. Berlari kencang, meninggalkan
debu-debu menggulung di belakangnya. Aku mencoba menyisih dari lintasan. Kakiku
berat untuk melangkah. Seluruh tenagaku
hilang lenyap. Aku terpuruk. Lari kuda itu semakin dekat. Kulihat jelas bentuk
kaki yang kokoh, paha yang kuat, saling berebut melangkah. Debu
bergulung-gulung. Telapak kaki kuda itu serasa hendak menyentuh wajah. Kutekuk
wajahku, menunggu kaki kuda itu melintas di mukaku, menginjak keras tubuhku
yang tanda daya. Tengkukku dingin. Tak ada suara lain yang terdengar. Kututup
mataku. Kututup telingaku. Aku menunggu.
Kudengar jelas hentakan kaki
kuda di telinga. Saat itu pula kurasa sebuah tangan menggapai lenganku.
Mencengkeram pundak dengan keras. Menyeretku berlari kencang. Tubuhku
terombang-ambing, terbentur-bentur. Perih,
ngilu. Aku meronta. Menggapai apa yang aku bisa. Memegang apa yang bisa
kupegang. Tangan kananku menyerang membabi buta. Menyentuh yang bisa kusentuh.
Aku merasa ranting yang kupegang mengenai sesuatu. Kudengar sebuah keluh.
Keriuhan terdengar dimana-mana. Suara menjerit-jerit melengking di
telingaku. Aku merasa keringat menetes di punggung ku.
“Fahri… jangan…”
“Hentikan Fahri… berhenti.”
“Tolong… tolong… tolong…”
“Fahri… brenti..”
“Dasar anak nggak tau diuntung.”
Aku seperti mengenal suara-suara itu. Dua pasang tangan mengunciku.
“Irfan… hati-hati… cutter ditangan.”
Aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Genggamanku kian erat.
“Fahri… sadar Fahri… sadar….”
Kucoba membuka mata. Silau. Kembali kudapati wajah wanita itu. Diantara
kerumunan para siswa, dengan wajah-wajah yang penuh rasa ingin tahu.
Allohu Akbar… Allohu Akbar…
Sayup-sayup suara adzan berkumandang. Tangan kananku bergetar. Cutter
kecil di tanganku terjatuh. Kupandangi wajah wanita yang ada di hadapanku. Tatapan matanya masih teduh. Sesak dadaku. Masih
seperti dulu. Sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Warna merah
melumuri seluruh lengannya. Pangkal lengannya menganga. Darah menetes-netes
dari ujung jarinya. Aku luruh, di kaki wanita yang paling kubenci. Istri
ayahku.
kata-kata yang menarik dan banyak mengandung pelajaran
ReplyDeleteMantap bunda kata katanya menegangkan
ReplyDelete