SP 3
Murmiyati Hadi Santoso
Keringat dingin mulai menetes di
punggungku. Aku mengingsut duduk. Memperbaiki posisi duduk agar lebih nyaman.
Ingin rasanya mendongakkan kepala.
Menatap dua orang yang duduk di hadapanku dengan senyum yang biasa kusapakan
kepada mereka. Sayang. Kepala ini terasa kian berat saja. Bahkan untuk sekedar
melirik dengan sudut matapun aku tak mampu.
“Sudah berapa lama kau lakukan
ini Riz?”
“Belum lama.”
Ah, aku menipu
lagi.
“Sejak kapan?” Tanya yang
lainnya.
“Aku lupa.”
Entahlah ini
sudah kebohongan yang keberapa yang kulontarkan sejak pertemuan ini tadi.
“Bagaimana kau melakukannya?”
“Siapa yang memberitahu
caranya?” suara yang lebih berat dan menekan terdengar.
“Kau lakukan dengan siapa saja?”
Berbagai pertanyaan saling berebutan memenuhi telingaku. Saling
mendahului. Kejar mengejar. Semua butuh jawaban. Dan aku tak tahu, mana yang
harus kujawab terlebih dahulu. Akhirnya aku hanya terdiam. Membisu.
“Kenapa gak jawab?”
“Ayo jawab?” suara yang berat
itu kembali terdengar.
Suara yang keluar justru dari tubuh yang kurus, wajahnya tirus. Kacamata
tebal dengan bingkai hitam itu membuatnya kian dingin. Jarang sekali kulihat
senyuman di bibirnya. Mungkin bibirnya terlalu mahal untuk sebuah senyuman.
Garis bibir yang lurus. Beku. Kudengar irama jantungnya yang mencoba ditahan.
Detaknya terdengar nyaring ditelingaku. Dalam hening ruang ber AC tanpa asap
rokok. Ruang kedap suara.
Aku menarik nafas panjang. Mencoba melepaskan beban yang menghimpit.
Membebani. Berat. Hanya sekedar untuk menarik nafas saja beratnya minta ampun.
Kutautkan kedua telapak tanganku saling meremas hingga menimbulkan suara
gemeletuk ruas-ruas jari yang saling beradu.
“Aku mempelajarinya sendiri.”
Sahutku pasrah.
“Belajar darimana?”
“Browsing di internet.”
Tak mungkin aku mengorbankan semua temanku dalam tim ini hanya karena
sebuah pengakuan. Mungkin tidak semuanya
terkena. Tapi beberapa orang pasti akan mengalami seperti yang kualami sekarang
ini.
“Tidak mungkin. Computer disini
tidak semudah itu dibobol.”
“Tunjukkan caranya sekarang.”
“Aku harus mempelajarinya
kembali, darimana aku mendapatkan caranya.
Aku butuh waktu untuk itu.” Aku mencoba mengulur waktu.
“Kuberi waktu 48 jam dan kau
harus menyampaikannya pada kami.”
“Aku butuh waktu lebih lama.”
“Waktumu
hanya 48 jam. Kalau kau menemukannya dan menyampaikan pada kami maka kami hanya
akan memberimu SP 2.”
Haaa… SP2. Potong gaji dan bayar
denda. Tapi itu riskan sekali. Tamatlah riwayatku. Aku bakal menjadi
pengangguran kembali. Bisa jadi bakal berhari-hari puasa kembali seperti dulu.
Hidup nebeng di kost teman, makan belum tentu sehari sekali. Apalagi pegang
uang, itu hal yang sangat mewah. Maka walau dengan gaji yang sangat minim,
kulakoni juga pekerjaan ini. Walau kadang sering dianggap tak layak. Bahkan
hasil kerjaku dibanding tukang parker masih lebih tinggi tukang parker.
“Selain itu masih ada perjanjian yang harus kau tanda tangani. Tentu
bila kau bisa melakukan maka kau masih bisa bebas melenggang dan bekerja
disini.”
Nasibku diujung tanduk. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Apa yang
masih bisa kuperbuat bila aku tertangkap basah melakukan pelanggaran?
Pelanggaran yang merugikan perusahaan?
Pada awalnya aku masih menikmati. Bisa mengantongi uang tambahan hingga
seratus ribu semalam. Hal itu mendatangkan sensasi tersendiri. Seperti
memenangkan sebuah pertandingan. Apalagi itu uang jauh diatas gaji harian
yang kuterima. Bahkan beberapa teman tim
kami merasa sangat bangga. Bahkan kecanduan untuk rajin bekerja dengan harapan
mendapat tambahan lebih. Ternyata candu itu memabukkan. Melenakan. Benar-benar
membuat kami terlena.
***
AC di ruangan ini masih dingin.
Sedingin perasaanku. Kesadaran untuk menerima sanksi bila itu memang harus
terjadi. Jemariku masih mengutak-utik mouse. Mencoba mendata ulang situs-situs
dimana bias kutemukan cara untuk mengelabui perusahaan. Kurinci semuanya. Aku
harus bias menunjukkan pada manager apa yang telah dia minta dan kujanjikan
kemarin lusa.
Tepat pukul 20.00. Suara derit pintu mengganggu konsentrasiku. Aku
menengok. Dua orang yang kemarin menjadikanku pesakitan kembali dating. Seorang
dengan tubuh jangkung, hitam dan berkacamata tebal. Seorang lagi berkulit lebih
bersih. Wajahnya bulat dengan rambut cepak dan potongan tubuh yang tegap. Dia
layak menjadi angkatan menurutku. Namun dia terdampar disini. Di sebuah warnet.
Walau jabatannya adalah seoarang manager.
“Sudah kau susun semuanya?”
suara si gendut di sampingku. Kulihat si jangkung menuju meja tamu, meraih koran
dan membuka halaman demi halaman.
“Sudah.”
“Bagus.” Dia mencoba mengamati
hasil kerjaku.
“Perlu print out? “ tanyaku
basa-basi. Hanya agar tak sunyi saja.
“Boleh.” Katanya sambil duduk
dekat si jangkung dan membuka-buka berkas dari dalam tasnya.
“Setelah nge print silakan tanda
tangani ini.”
“Apa ini?”
“Perjanjian agar kau tidak kena
SP 3.”
“Aku harus membacanya terlebih
dahulu sebelum tanda tangan.” Ada rasa curiga dalam hatiku bahwa mereka akan
menjebakku.
“Bacalah.”
Aku meraih stopmap biru yang dia
ulurkan. Tiga buah pejanjian yang tidak semuanya bias kulakukan. Perjanjian
pertama untuk tidak melakukan pelanggaran lagi. Aku masih bisa menerima.
Perjanjian kedua untuk tidak mengimbaskan ilmu yang kudapat pada teman lain aku
juga masih bisa menerima. Tapi pada perjanjian ketiga. Menanggung semua pegawai
baru untuk tdak meniru apa yang kulakukan? Itu mustahil. Mereka mungkin lebih
pandai dari aku. Hanya saja mereka punya nyali untuk melakukan atau tidak. Dan
itu suatu hal yang tak mungkin aku tanggung. Aku merasa terjebak. Dengan cara
apapun mereka ingin menyingkirkanku.
“Perjanjian nomor tiga aku tak bisa
menandatanganinya.”
“Kenapa?”
“Kau takut?” aku benci sekali
suara itu. Suara yang dingin dan berat. Suara yang menekan dan menghimpit.
“Mereka manusia yang punya akal
dan pikir. Jadi aku tak mungkin mengendalikan mereka.” Aku bersikukuh tak
menandatangani perjanjian itu. Walaupun posisiku sangat riskan. Dulu aku juga
pernah tak punya apa-apa. Belum tentu bisabisa makan tiap hari. Dan sampai
sekarang nyatanya aku masih hidup.
***
Teman-teman baikku masih
menunggu di luar. Mereka memintaku untuk bergabung di warung angkring Lik Giyo
langganan kami. Mereka menunggu berita
yang kubawa. Pelan aku menuruni tangga. Aku harus tetap bisa tersenyum. Aku
masih ingat ketika mereka berebut keripik pisang kiriman ibuku dari kampong.
Tawa yang renyai. Celoteh yang menggemaskan. masih adakah kesempatan buat
tertawa bersama mereka?
Dua tahun ini aku merasa mendapat keluarga baru. Hidup bersama mereka,
saling bertukar cerita. Berbagi duka. Kuni, gadis cerewet, bendahara kami.
Gadis yang paling sering kuganggu hanya karena aku mau pinjam uang kas untuk
membeli seliter bensin. Zahra yang pendiam tapi lebih terkesan cuek bebek.
Mungkin kalau ada orang pingsanpun dia tak akan bereaksi selain customer. Fajar,
anak muda yang selalu bangun kesiangan. Dating ke kantor dengan mata yang masih
kriyip-kriyip. Dian sang pahlawan. Pemilik took busana yang ingin menjajal
pekerjaan jadi OP warnet. Pak Kardi penguasa parker yang sering marah-marah
hanya karena aku parker sembarangan. Pria setengah tua yang sebenarnya berhati
lembut. Hanya karena sapaannya aku jadi jatuh cinta padanya. “Pakai mantel.
Hujan. “ katanya suatu ketika.
Berat langkah kakiku. Berat melepas mereka dari hidupku. Lebih berat
dari denda 5 juta yang harus kubayar. Walau aku belum tahu bagaimana caranya
harus membayar denda sebesar itu. Jantungku berdentam-dentam. Terima atau tidak
itulah yang terjadi. Resiko. Guru bahasa Indonesiaku di SMP pernah mengatakan,
siapa menanam, mengetam. Sekarang aku baru mengetam, mengetam tanaman yang
kutanam sendiri. Uppss. Karena berjalan sambil melamun, dua telundak kulewati
tanpa sadar. Hamper aku terpelanting. Untung pegangan tangga masih kuat
menerima beban tubuhku. Beberapa penghuni ruang-ruang warnet mendongak
mendengar suaraku tertahan. Aku hanya tersenyum. Kecut.
Kuni yang melihatku segera mendekat dan menyeretku keluar. Menuju warung
angkring di sisi kanan warnet. Beberapa teman menungguku tegang.
“Gimana Riz?” suara mereka hamper berbarengan. Wajah-wajah ingin tahu berusaha
melihat langsung wajahku.
“Es Jeruk Lik.” Kataku pada Lik Giyo pedangang angkring langganan kami.
“Manis?” tanyanya.
“Harus Lik. Hidupnya sudah pahit masak minumnya pahit.” Aku berusaha
melucu. Tapi leluconku hambar. Tak ada yang menyahut.
“Gimana Riz?” kali ini suara Zahra yang memelas.
Kutatap wajahnya. Sebuah senyum kulontarkan. Wajahnya jadi kian cemas.
“Gara-gara aku ya?” wajahnya memerah, hamper menangis.
“Salahku sendiri.” Sahutku menentramkan.
“Trus hasilnya piye?”
“Denda 5 juta.”
“Haaa…. Banyak banget?” sahut mereka serempak.
“Gimana kamu mau bayar itu Riz?”
“Dan SP 3”
“Haaaaa … “
“Ya, dipecat dengan tidak hormat dan harus membayar denda.” Kuminum
tandas es jeruk dari Lik Giyo.
“Tolong bayari es ku.”
Aku ngeloyor pergi. Tanpa memperdulikan mereka yang terbengong-bengong
melihat sikapku.
“Es nya gratis untukmu Riz.” Masih kudengar teriakan Lik Giyo yang
memberiku gratisan.
Kudongakkan wajahku. Menghindarkan buliran panas jatuh dari sudut mata.
Malam masih berbintang. Gumpalan awan menghiasi langit di sana sini. Seperti
berjalan di bawa angin. Aku melangkah menuruti kaki. Kemana kaki mengarah aku
tak perduli. Aku hanya ingin bernafas bebas dan lega. Ternyata dipecat tapi
membuatku lebih bahagia. Ternyata Alloh masih saying padaku. Diperingatkan
dengan caranya. Agar aku tak terjerumus lebih dalam. Angin dingin yang mengusap
membuatku bisa berpikir lebih jernih. Kali ini aku jadi cengeng. Sangat rindu
pada ibu. Ingin memeluknya. Tidur dipangkuannya. Sambil mendengar nasehatnya.
Jangan lupakan sholat. Selalu berbuat jujur. Senantiasa berniat baik.
HP di kantong bergetar. Pesan WhatsApp masuk.
“Riz kami Cuma bisa patungan 200 an buat bantuin kamu. Besok silakan
diambil. Dananya Kuni yang simpan.”
Dadaku semakin sesak. Kusandarkan
tubuhku di tiang listrik yang dingin. Kendaraan yang lalu lalang di depanku
masih ramai. Ternyata aku tak hanya sendiri.
Soga 4
April 2015
Kado spesial buat Ragil Kuning
Cerpen ini pernah dimuat di majalah Mentari
No comments:
Post a Comment