Wednesday, March 7, 2018

cerita pendek


Mas Pulang

Oleh : Murmiyati Hadi Santoso


Allohu akbar…. Allohu akbar… Allohu akbar…. Suara adzan Ashar berkumandang. Jelas sekali tertangkap telinga. Jam bezoek masih satu jam lagi. Sebentar lagi waktunya perawat untuk keliling memandikan pasien yang butuh bantuan untuk mandi. Termasuk diriku. Yang setelah beberapa hari masih tetap belum diizinkan untuk turun ke kamar mandi sendiri. Bahkan untuk buang air kecil sekalipun. Apalagi untuk mandi. Menurut SOP masih harus tetap dibantu alias dimandikan. Selama infus dan selang oksigen masih terpasang. Walau diri ini merasa sudah lebih baik.
Dalam kondisi yang seperti ini aku jadi teringat ayah. Ayahku yang sudah berusia hamper 80 tahun. Yang saat  ini tinggal bersama kami. Setahun lebih ayah tinggal bersamaku setelah sebelumnya tingga bersama adik bungsuku.  Sebelumnya sangat sulit mengajak ayah untuktinggal bersamaku. Beliau bersedia kuboyong saat adik bungsuku berangkat haji. Nah, sejak itulah ayah tak pernah kukembalikan lagi. Kata adik bungsuku, ayahnya telah diculik oleh kakaknya. Haha, bahasa yang berbeda. Akan tetapi itulah gaya bahasa adikku. Dia senang sekali menggunakan kata-kata yang penuh retorika atau menggunakan gaya bahasa.
Bahagia rasanya bisa membawa ayah untuk tinggal bersama. Dengan tinggal bersamanya, aku bisa mengurus beliau dengan lebih baik. Menyiapkan makan yang sehat, merawat tubuhnya yang kian renta hingga tak mampu mandiri. Semua kulakukan dengan hati riang. Kuwajibkan semua warga rumah untuk selalu menyapa ayah. Baik sebelum pergi maupun saat masuk rumah. Dengan harapan ayah merasa hangat dan nyaman tinggal bersama kami. Alhamdulillah, dengan cara itu, semua berjalan lancer dan baik.
Bila ayah ingin menengok rumah, aku berusaha mengantarkannya. Dengan catatan cukup sehari atau dua hari saja. Karena menurut beberapa teman dan keluarga, selama ayah tinggal bersamaku kondisi beliau semakin membaik. Tentunya aku tak ingin melihat ayah yang hanya membungkuk dan kesulitan untuk berjalan. Aku ingin ayah lebih baik. Lebih bisa melakukan mobilitas walaupun  penuh keterbatasan. Segala upaya kulakukan, dari obat yang rutin harus kutebus hingga fisiotherapi seminggu dua kali. Alhasil, kini telah kulihat perubahannya. Ayah yang semula tergantung pada tongkat berkaki empat, kini sedikit demi sedikit, terutama di siang hari, ayah bisa berjalan-jalan tanpa tongkat. Bahkan kini ayah memiliki hobbi baru, menyiram tanaman anggrekku.
Diantara kesibukannya, ayah sering bercerita tentang apa saja. Bisa tentang masa lalu yang menyenangkan atau yang membuatnya sedikit uring-uringan. Saat bermain kanvas, beliau akan bercerita tentang diriku yang pernah jadi modelnya.Kemudian beliau akan bercerita bagaimana memilih sudut pandang yang baik. Harus berani memilih warna dan tidak ragu-ragu dalam mencoret kanvas. Kadang juga di saat-saat seperti ini kutemukan mata ayah yang murung. kalau sudah begitu aku mencobanya untuk mengalihkan topic pembicaraan. Sayang, akhir-akhir ini sering kulihat ayah termenung.
“Ingat sesuatu Pak?”
“He he… iya…?”
“Ibu?”
“Juga Ibumu.”
“Berarti ingat yang lain?”
Kupandangi wajah ayah lebih teliti. Kudapati wajah ayah yang kian letih.
“Bapak kangen…”
“Kangen siapa Pak?”
“Mas mu… beberapa hari dia hadir dalam mimpi.”
Mas mu? Siapa yang dimaksud ayah dengan Mas mu? Aku linglung memikirkannya. Ayah memang pernah bercerita selintas tentang kakak sulungku yang pergi dari rumah saat aku masih kecil. Aku ingat pernah dibonceng sepeda di depan oleh mas ku. Keliling kampong, kami tertawa-tawa gembira. Seingatku waktu itu, mas ku sudah dewasa. Aku masih ingat saat ibu selalu menyebut nama mas Yatno setiap memperkenalkan keluarga kami pada siapapun. Namun nama itu hanya sekedar nama, yang tak pernah lagi kulihat wajahnya, kurasakan pelukannya. Bahkan aku hamper tak pernah ingat lagi wajahnya seperti apa. Cerita yang kudengar hanyalah mas ku pergi tanpa pernah berkabar apa-apa lagi pada keluarga. Menurut cerita, itu dilakukan karena mas ku marah pada ayah karena disuruh mencari kerja. Lalu, mas ku hanya tinggal nama tanpa rupa.
Kini ayah merindukannya. Merindukan kehadirannya setelah sekian puluh tahun berpisah. Bagaimana cara mencarinya? Bukankah selama ini kami lost contac ? Diumumkan di media? Mungkinkah?
“Ayah pernah berkabar dengannya?”
“Tidak.”
“Pernah mendengar posisinya dimana?”
“Tidak.”
Pelik. Itu kata pertama yang terucap. Kalaupun bisa menemukan tentu butuh waktu yang lama dan sulit. Suasana yang selama ini tenang menjadi sedikit berombak karena kerinduan ayah pada mas Yatno. Mencoba menghubungi saudara-saudara yang ada hubungannya dengan mas Yatno. Sebagian besar menjawab dengan jawaban tidak tahu tapi penuh rasa ingin tahu.
Tok tok tok
Suara ketukan dipintu disertai suara pintu terbuka. Anak bungsuku masuk dengan menggendong ransel kesayangannya. Senyumnya riang, wajahnya sumringah.
“Nggak bobok Ma?”
“Enggak. Bapak gimana? Sehat?”  Aku membahasakan anakku dengan panggilan bapak untuk kakeknya, ayahku.
“Tenang Ma, bapak sehat wal afiat. “
“Alhamdulillah. Kamu sendirian? Dari Perpus?”
“Iya, Papa masih di kantor.”
Tangannya lincah membuka-buka doos di atas meja. Saat menemukan yang dicari, dia segera membukanya dengan cepat dan menyuapkan kemulutnya yang mungil.
“Laper?” tanyaku.
“He eh… banget.” sahutnya sambil tersenyum.
Dering telepon genggam berbunyi.
“Hallo… Assalamu’alaikum.”
Mulutnya yang masih penuh agak susah menjawab telepon. Tangan kanannya mengusap mulut sambil setengah menutup, takut suara kunyahan terdengar dari seberang.
“Pakdhe posisi dimana?”
“….”
“OTW? Naik taksi? Ooo udah nyampe? Kujemput Pakdhe. Pakdhe disitu saja, tunggu aku ya Pakdhe.”
Kakinya sibuk meraba-raba sepatu di bawah kaki kursi.
“Siapa?” tanyaku penasaran.
“Pakdhe.” jawabnya sambil meluncur keluar.
Ditanya baik-baik, main pergi saja, namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku masih belum boleh turun, apalagi untuk berlari mengejarnya. Pakdhe? Pakdhe siapa? Ahh… mungkin kakak sepupuku, atau kakak iparku yang datang. Tapi darimana mereka tahu kalau aku dirawat disini? Bukankah tak ada yang diberitahu selain anak bungsuku saat aku harus opname beberapa hari di rumah sakit ini? Ah, entahlah. Kulayangkan pandangan ke jendela, langit terang, pucuk-pucuk pohon hijau meliuk diterpa angin sore. Mendhung yang semula bergayut telah disapu angina. kurasakan sedikit kesejukan dengan menatap dedaunan. Sebuah puncak bangunan menjulang dibelakang.
“Mama…” kudengar suara anak bungsuku.
Aku menoleh, seorang laki-laki kurus, tinggi, dengan peci coklat tersenyum kearahku. segera datang dan memelukku erat-erat.
“Adikku… adikku… adikku…” diciuminya wajahku tiada henti.
Aku terhenyak. Ada sesak di dada yang harus dituntaskan. Sepasang mata memandangiku dengan tetesan air mata. Senyumnya menawan. Aroma bahagia terpancar diwajahnya. Aku masih tertegun. Tak tahu harus berbuat apa. Sepasang tangan yang memeluk itu masih erat, tetesan hangat meleleh di wajah. Suara sedu yang terbata. Tiba-tiba saja aku telah memelukknya. Seperti dulu, saat dia menggodaku dan memelukku dari belakang erat-erat kemudian aku akan meronta-ronta. Saat ini aku tidak meronta lagi. Aku ingin menikmati dekapannya.
“Bapak?”
“Semua sudah selesai. Pakdhe sudah ketemu bapak.”
“Kita bersama lagi, seperti dulu.” mas Yatno berucap.
Kusandarkan kepalaku didadanya. Menikmati degub jantungya yang tak lagi perkasa. Menikmati indahnya kebersamaan. Menikmati indahnya saling memaafkan. Memaafkan menjadi kata yang paling indah untuk menyambung tali silaturahmi. Besar harapanku, dengan  kepulangan mas, maka ayah akan kembali ceria.

Ndawukan Akhir September 2016
kado cinta buat mas yang baru jumpa


Cerpen ini dimuat di Majalah Mentari edisi Juli 2017

No comments:

Post a Comment