Mas
Pulang
Oleh : Murmiyati Hadi Santoso
Allohu akbar…. Allohu akbar… Allohu akbar….
Suara
adzan Ashar berkumandang. Jelas sekali tertangkap telinga. Jam bezoek masih
satu jam lagi. Sebentar lagi waktunya perawat untuk keliling memandikan pasien
yang butuh bantuan untuk mandi. Termasuk diriku. Yang setelah beberapa hari
masih tetap belum diizinkan untuk turun ke kamar mandi sendiri. Bahkan untuk
buang air kecil sekalipun. Apalagi untuk mandi. Menurut SOP masih harus tetap
dibantu alias dimandikan. Selama infus dan selang oksigen masih terpasang.
Walau diri ini merasa sudah lebih baik.
Dalam
kondisi yang seperti ini aku jadi teringat ayah. Ayahku yang sudah berusia
hamper 80 tahun. Yang saat ini tinggal
bersama kami. Setahun lebih ayah tinggal bersamaku setelah sebelumnya tingga
bersama adik bungsuku. Sebelumnya sangat
sulit mengajak ayah untuktinggal bersamaku. Beliau bersedia kuboyong saat adik
bungsuku berangkat haji. Nah, sejak itulah ayah tak pernah kukembalikan lagi.
Kata adik bungsuku, ayahnya telah diculik oleh kakaknya. Haha, bahasa yang
berbeda. Akan tetapi itulah gaya bahasa adikku. Dia senang sekali menggunakan
kata-kata yang penuh retorika atau menggunakan gaya bahasa.
Bahagia
rasanya bisa membawa ayah untuk tinggal bersama. Dengan tinggal bersamanya, aku
bisa mengurus beliau dengan lebih baik. Menyiapkan makan yang sehat, merawat
tubuhnya yang kian renta hingga tak mampu mandiri. Semua kulakukan dengan hati
riang. Kuwajibkan semua warga rumah untuk selalu menyapa ayah. Baik sebelum
pergi maupun saat masuk rumah. Dengan harapan ayah merasa hangat dan nyaman
tinggal bersama kami. Alhamdulillah, dengan cara itu, semua berjalan lancer dan
baik.
Bila
ayah ingin menengok rumah, aku berusaha mengantarkannya. Dengan catatan cukup
sehari atau dua hari saja. Karena menurut beberapa teman dan keluarga, selama
ayah tinggal bersamaku kondisi beliau semakin membaik. Tentunya aku tak ingin
melihat ayah yang hanya membungkuk dan kesulitan untuk berjalan. Aku ingin ayah
lebih baik. Lebih bisa melakukan mobilitas walaupun penuh keterbatasan. Segala upaya kulakukan,
dari obat yang rutin harus kutebus hingga fisiotherapi seminggu dua kali.
Alhasil, kini telah kulihat perubahannya. Ayah yang semula tergantung pada
tongkat berkaki empat, kini sedikit demi sedikit, terutama di siang hari, ayah
bisa berjalan-jalan tanpa tongkat. Bahkan kini ayah memiliki hobbi baru,
menyiram tanaman anggrekku.
Diantara
kesibukannya, ayah sering bercerita tentang apa saja. Bisa tentang masa lalu
yang menyenangkan atau yang membuatnya sedikit uring-uringan. Saat bermain
kanvas, beliau akan bercerita tentang diriku yang pernah jadi modelnya.Kemudian
beliau akan bercerita bagaimana memilih sudut pandang yang baik. Harus berani
memilih warna dan tidak ragu-ragu dalam mencoret kanvas. Kadang juga di
saat-saat seperti ini kutemukan mata ayah yang murung. kalau sudah begitu aku
mencobanya untuk mengalihkan topic pembicaraan. Sayang, akhir-akhir ini sering
kulihat ayah termenung.
“Ingat
sesuatu Pak?”
“He
he… iya…?”
“Ibu?”
“Juga
Ibumu.”
“Berarti
ingat yang lain?”
Kupandangi
wajah ayah lebih teliti. Kudapati wajah ayah yang kian letih.
“Bapak
kangen…”
“Kangen
siapa Pak?”
“Mas
mu… beberapa hari dia hadir dalam mimpi.”
Mas
mu? Siapa yang dimaksud ayah dengan Mas mu? Aku linglung memikirkannya. Ayah
memang pernah bercerita selintas tentang kakak sulungku yang pergi dari rumah
saat aku masih kecil. Aku ingat pernah dibonceng sepeda di depan oleh mas ku.
Keliling kampong, kami tertawa-tawa gembira. Seingatku waktu itu, mas ku sudah
dewasa. Aku masih ingat saat ibu selalu menyebut nama mas Yatno setiap
memperkenalkan keluarga kami pada siapapun. Namun nama itu hanya sekedar nama,
yang tak pernah lagi kulihat wajahnya, kurasakan pelukannya. Bahkan aku hamper
tak pernah ingat lagi wajahnya seperti apa. Cerita yang kudengar hanyalah mas
ku pergi tanpa pernah berkabar apa-apa lagi pada keluarga. Menurut cerita, itu
dilakukan karena mas ku marah pada ayah karena disuruh mencari kerja. Lalu, mas
ku hanya tinggal nama tanpa rupa.
Kini
ayah merindukannya. Merindukan kehadirannya setelah sekian puluh tahun
berpisah. Bagaimana cara mencarinya? Bukankah selama ini kami lost contac ? Diumumkan di media?
Mungkinkah?
“Ayah
pernah berkabar dengannya?”
“Tidak.”
“Pernah
mendengar posisinya dimana?”
“Tidak.”
Pelik.
Itu kata pertama yang terucap. Kalaupun bisa menemukan tentu butuh waktu yang
lama dan sulit. Suasana yang selama ini tenang menjadi sedikit berombak karena
kerinduan ayah pada mas Yatno. Mencoba menghubungi saudara-saudara yang ada
hubungannya dengan mas Yatno. Sebagian besar menjawab dengan jawaban tidak tahu
tapi penuh rasa ingin tahu.
Tok
tok tok
Suara
ketukan dipintu disertai suara pintu terbuka. Anak bungsuku masuk dengan
menggendong ransel kesayangannya. Senyumnya riang, wajahnya sumringah.
“Nggak
bobok Ma?”
“Enggak.
Bapak gimana? Sehat?” Aku membahasakan
anakku dengan panggilan bapak untuk kakeknya, ayahku.
“Tenang
Ma, bapak sehat wal afiat. “
“Alhamdulillah.
Kamu sendirian? Dari Perpus?”
“Iya,
Papa masih di kantor.”
Tangannya
lincah membuka-buka doos di atas meja. Saat menemukan yang dicari, dia segera
membukanya dengan cepat dan menyuapkan kemulutnya yang mungil.
“Laper?”
tanyaku.
“He
eh… banget.” sahutnya sambil tersenyum.
Dering
telepon genggam berbunyi.
“Hallo…
Assalamu’alaikum.”
Mulutnya
yang masih penuh agak susah menjawab telepon. Tangan kanannya mengusap mulut
sambil setengah menutup, takut suara kunyahan terdengar dari seberang.
“Pakdhe
posisi dimana?”
“….”
“OTW?
Naik taksi? Ooo udah nyampe? Kujemput Pakdhe. Pakdhe disitu saja, tunggu aku ya
Pakdhe.”
Kakinya
sibuk meraba-raba sepatu di bawah kaki kursi.
“Siapa?”
tanyaku penasaran.
“Pakdhe.”
jawabnya sambil meluncur keluar.
Ditanya
baik-baik, main pergi saja, namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku masih belum
boleh turun, apalagi untuk berlari mengejarnya. Pakdhe? Pakdhe siapa? Ahh…
mungkin kakak sepupuku, atau kakak iparku yang datang. Tapi darimana mereka
tahu kalau aku dirawat disini? Bukankah tak ada yang diberitahu selain anak
bungsuku saat aku harus opname beberapa hari di rumah sakit ini? Ah, entahlah.
Kulayangkan pandangan ke jendela, langit terang, pucuk-pucuk pohon hijau meliuk
diterpa angin sore. Mendhung yang semula bergayut telah disapu angina.
kurasakan sedikit kesejukan dengan menatap dedaunan. Sebuah puncak bangunan
menjulang dibelakang.
“Mama…”
kudengar suara anak bungsuku.
Aku
menoleh, seorang laki-laki kurus, tinggi, dengan peci coklat tersenyum
kearahku. segera datang dan memelukku erat-erat.
“Adikku…
adikku… adikku…” diciuminya wajahku tiada henti.
Aku
terhenyak. Ada sesak di dada yang harus dituntaskan. Sepasang mata memandangiku
dengan tetesan air mata. Senyumnya menawan. Aroma bahagia terpancar diwajahnya.
Aku masih tertegun. Tak tahu harus berbuat apa. Sepasang tangan yang memeluk
itu masih erat, tetesan hangat meleleh di wajah. Suara sedu yang terbata.
Tiba-tiba saja aku telah memelukknya. Seperti dulu, saat dia menggodaku dan
memelukku dari belakang erat-erat kemudian aku akan meronta-ronta. Saat ini aku
tidak meronta lagi. Aku ingin menikmati dekapannya.
“Bapak?”
“Semua
sudah selesai. Pakdhe sudah ketemu bapak.”
“Kita
bersama lagi, seperti dulu.” mas Yatno berucap.
Kusandarkan
kepalaku didadanya. Menikmati degub jantungya yang tak lagi perkasa. Menikmati
indahnya kebersamaan. Menikmati indahnya saling memaafkan. Memaafkan menjadi
kata yang paling indah untuk menyambung tali silaturahmi. Besar harapanku,
dengan kepulangan mas, maka ayah akan
kembali ceria.
Ndawukan Akhir
September 2016
kado cinta buat
mas yang baru jumpa
Cerpen ini dimuat di Majalah Mentari edisi Juli 2017
No comments:
Post a Comment