PANGGIL
AKU AYAH
Oleh : Murmiyati Hadi Santoso
Wajah
ovalnya seperti Sri, matanya milikku. Aku hanya bisa terpana melihatnya.
“Tidak, kau bukan ayahku.” teriakannya keras
membahana.
“Dia ayahmu Nak.”
“Tidak....!!!”
“Na…
sadar Na….”
“Tidak…,
tidak…, aku tidak punya ayah.”
“Na,
Nana…. lihat bapak Na.”
“Buka
matamu Na, lihat bapak Na….”
“Tidak….
aku tidak punya ayah….”
Pupus
sudah harapanku. Usaha Mas Han dan Mbak Harti tak berhasil. Nana hanya mau
melihat Mas Han sebagai bapaknya, walau akulah ayah kandungnya. Harapan untuk
dipanggil ayah oleh anak kandungku sendiri. Anak gadis yang seharusnya
kunikahkan hari ini, tidak mengakuiku sebagai ayahnya.
Sejak
awal sebenarnya aku memang sudah ragu untuk berangkat ke tempat ini. Tempat
yang bagiku terlalu kelam. Tempat yang sangat ingin kuhapus dari sejarah
hidupku sejak dulu. sebuah tempat yang
telah membuatku terpuruk dan hamper gila. Bukan hanya hamper gila, tetapi sudah
membuatku gila. Hingga aku tak ingin lagi menengok ke belakang. Menghapus semua
yang ada hubungannya denga Sri.
Seandainya
Mas Han tidak berkabar padaku, aku tak
mungkin menginjakkan kaki kembali di sini. Hanya karena sebuah SMS singkat.
NIKAHKANLAH ANAK GADISMU. Sebuah SMS yang seandainya kuabaikanpun tentu mereka
semua akan mengerti. Ketika sebuah SMS datang tak kubalas, kemudian beruntun
datang kembali SMS dengan bunyi yang sama.
Perasanku
mulai resah. Di kantor aku mulai sering melamun (kata teman-teman yang satu
ruangan). Banyak pekerjaan yang akhirnya tertunda. Bahkan yang paling nyata,
aku menjadi semakin sensitive. Hanya karena hal yang sepele sudah bisa
membuatku marah-marah tak menentu.
Aku
jadi mulai dirundung rindu. Membayangkan seperti apakah anak gadisku ini.
Apakah dia cantik manis seperti ibunya? Ataukah dia berkulit gelap dengan
rahang tegas dan mata setajam elang sepertiku? Ataukah dia tumbuh menjadi gadis
perpaduan antara diriku dengan Sri? Ada rasa segan pada kakakku untuk meminta
foto anak gadisku. Apalagi aku hamper tak pernah merespon apapun berita tentang
darah dagingku ini. Aku mencoba menutup masa laluku. Berleha-leha membayangkan
wajah gadisku ini, seperti orang yang sedang jatuh cinta.
“Kerja
Man…” suara Makmun mengingatkan.
“Heemm…
“ jawabku masih sambil menyandarkan badan di punggung kursi dan kaki
berselonjor di atas tumpukan kertas bekas.
“Kapan
kau mau kirimkan berkas permohonan ini?”
“Nanti
siang sajalah…” sahutku malas-malasan.
“Awas
terlambat lagi lho.”
“Iya.
Pasti kuantar. Tenang saja.”
“Kenapa
sih Man, beberapa hari kau tak bergairah? Capek? Sakit?” Makmun mencoba
menelisik.
“Tidak.”
“Lha
terus, ngapain?”
“Aku
jatuh cinta.”
Haaaa…..
suara mereka serempak. Semua kegiatan berhenti. Retno yang semula asyik dengan
computer berhenti. Berdiri mendekatiku. Pelan-pelan menyentuh keningku.
“Bener
Pakdhe?” tanyanya hati-hati penuh rasa ingin tahu.
Oo
ya… mungkinkah gadisku seperti Retno? Tinggi semampai tapi berisi? Dengan kulit
agak terang dan senyum yang cukup menawan? Kuperhatikan Retno lebih teliti.
Yang kuperhatikan salah tingkah. Dibetulkannya kerudung yang tidak berubah
sejak tadi pagi, masih rapih dan kelimis. Berulang diangkatnya kacamata
berbingkai hitam yang dipakainya. Walau dia yakin bahwa kacamata itu tidak
berpindah dari tempatnya bertengger, di hidungnya yang mancung. Kuperhatikan
lebih jelas. Ah tidak. Gadisku tidak mungkin bertampang judes seperti Retno,
Dia pasti lemah lembut seperti Sri, atau tegas sepertiku. Retno akhirnya
beranjak kembali ke mejanya setelah tak mendapat jawaban apapun dariku.
“Bener
Man?” Bu Yan ikut-ikutan bertanya.
“Bener…”
“Ingat
istri dan anakmu Man…”
“Aku
ingat … tapi yang ini lain…”
“Kalau
kamu jatuh cinta lagi, anak istrimu bagaimana? Mau dibuang begitu saja?”
“Aku
kangen…”
“Uedaann…”
“Kangen
banget… sumpah…”
“Man,
sadar Man, anak-anakmu sudah besar semua. Kau mau mereka terluka kalau tahu
tingkahmu?”
“Aku
ingin lihat wajahnya…”
“Parman
sudah gila.”
“Aku
memang sudah gila.”
“Sadar
kau Man, kalau sudah gila?”
“Aku
ingin sekali melihatnya… seperti apa dia sekarang?”
“Siapa
yang kau maksud Man?”
“Gadisku.”
“Gadis
yang telah membuatmu jatuh cinta?”
“Cantikkah
dia? Semampaikah dia?”
“Duduk
Man. Jangan buat semua orang disini kebingungan mendengar omonganmu yang tidak
jelas itu.”
“Aku
kangen, bisakah kau tunjukkan wajahnya?”
“Man.
Parman.”
“Maafkan
aku. Aku yang salah. Aku yang ingin melupakannya. Aku yang telah
mengabaikannya. Maafkan aku, maafkan akuuuu….”
Aku
berteriak keras-keras, bergerak membabi
buta. Membuat semua penghuni ruangan terpana melihatnya. Kuhamburkan
semua yang ada di meja. Suara gelas terbanting tak mengendorkan keinginanku
melepaskan diri. Suara Retno, Bu Yan yang berteriak ketakutan memacu
keinginanku untuk bergerak lebih beringas. Napasku ngos-ngosan, Ingin rasanya
melepaskan beban yang menghimpit. Beban yang membuatku kesulitan untuk
bernafas. Buukkk…. sebuah tempelengan menghampiri. Aku terhuyung. Makmun, Jati,
Didin, mereka meringkusku.
Kurasakan
elusan tangan Bu Yan di bahuku. Retno mengangsurkan aqua gelas.
“Sabar
Man. Minuumlah dulu.”
Suara
Bu Yan yang teduh, menenangkanku. kuteguk air di gelas yang diasungkan Retno.
Rasa pusing bekas tempelengan masih terasa. Aku tak tahu siapa yang sudah
melakukannya. Namun aku berterima kasih karenanya.
“Ada
masalah bisa dibicarakan Man. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Kami hanya
teman, tapi kami jugalah keluargamu. Kalau kau merasa tidak mampu bicara dengan
keluargamu, tentu kami akan membantu. Tentu dengan cara yang tepat. Bukan
dengan diam dan marah-marah tidak karuan.”
“Setiap
masalah pasti ada pemecahannya. Begitu juga masalahmu.”
Aku
terguguk mendengar kata-kata Bu Yan. Sebenarnya rasa bersalahlah yang paling
kurasakan. Benar, aku yang salah selama ini. Akulah yang selalu berusaha
menganggapnya tidak ada. Menganggap bahwa semua itu hanya mimpi buruk yang tak
perlu diingat, apalagi diulang kembali. kucoba menguburkannya semuanya. Aku
berharap dengan menikah kembali, membangun keluarga baru, maka semua itu akan
terlupakan. Ternyata tidak. Di lubuk hati yang paling dalam, aku masih
menyimpan mereka.
Ternyata
kenangan itu tak pernah sirna dalam hidupku. Sekuat apapun aku mencoba
menghindarinya. Masih lekat dalam ingatanku, betapa bahagianya aku menghadapi
kelahiran buah cintaku bersama Sri. Gadis pujaanku sejak masih SMP, hingga aku
lepas SMA dan bekerja. Sebagi bukti cinta, kamipun akhirnya menikah.
Pada
bulan kedua pernikahan, Sri hamil. Kami sambut kehamilan itu dengan suka cita.
Betapa aku sangat membatasi kegiatan Sri, karena aku ingin bayi mungil yang
sehat. Sri adalah istri yang baik, penurut, maka dia lakukan apa yang kuminta.
Akan tetapi, takdir berkata lain. Maut menjemput saat Sri melahirkan. Anakku
selamat tapi Sri terlanjur pergi. Kutangisi Sri berhari-hari.
Rasa
kehilangan yang amat sangat membuatku seperti orang gila. Hingga aku lupa bahwa
aku masih memiliki seorang anak. Yang tak pernah sekalipun kulihat wajahnya.
Bahkan sebuah namapun tak pernah kutinggalkan.
Aku melarikan diri dari kenyataan. Berlari sejauh mungkin dan tak pernah
ingin kembali.
“Bercerita
mungkin akan sedikit mengurangi bebanmu Man.”
Aku
tak berselera untuk bercerita. Kuambil telepon genggam dari saku celana. Kubuka
pesan dari Kakakku. Kuasungkan pada Bu Yan.
“Kubaca?”
tanya Bu Yan menegaskan.
Aku
mengangguk. Menunggu reaksi Bu Yan. Dahinya mengernyit, memandangiku penuh
tanya.
“Gadismu?”
kembali aku mengangguk.
“Kapan?”
“Minggu
depan.”
“Istrimu
tahu?” aku menggeleng.
“Pulanglah.
Itu kuwajibanmu sebagai ayah. Beritahu istrimu baik-baik. Kau pasti bisa
menjelaskannya. Kalau perlu bantuanku, kau bisa mengajakku untuk bicara dengan
istrimu. Aku percaya, istrimu pasti bisa menerima dengan baik asal kau tak
jatuh cinta untuk menikah lagi.”
Aku
masih termangu-mangu hingga saat sitirahat siang tiba. Mereka bubar untuk
mengisi perut masing-masing sebelum berkutat dengan pekerjaan berikutnya hingga
sore hari.
Ndawukan, akhir
September 2016
Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Mentari
No comments:
Post a Comment