Wednesday, March 7, 2018

cerita pendek


PANGGIL AKU AYAH

Oleh : Murmiyati Hadi Santoso

                 
Wajah ovalnya seperti Sri, matanya milikku. Aku hanya bisa terpana melihatnya.
 “Tidak, kau bukan ayahku.” teriakannya keras membahana.
 “Dia ayahmu Nak.”
“Tidak....!!!”
“Na… sadar Na….”
“Tidak…, tidak…, aku tidak punya ayah.”
“Na, Nana…. lihat bapak Na.”
“Buka matamu Na, lihat bapak Na….”
“Tidak…. aku tidak punya ayah….”
Pupus sudah harapanku. Usaha Mas Han dan Mbak Harti tak berhasil. Nana hanya mau melihat Mas Han sebagai bapaknya, walau akulah ayah kandungnya. Harapan untuk dipanggil ayah oleh anak kandungku sendiri. Anak gadis yang seharusnya kunikahkan hari ini, tidak mengakuiku sebagai ayahnya.
Sejak awal sebenarnya aku memang sudah ragu untuk berangkat ke tempat ini. Tempat yang bagiku terlalu kelam. Tempat yang sangat ingin kuhapus dari sejarah hidupku sejak dulu.  sebuah tempat yang telah membuatku terpuruk dan hamper gila. Bukan hanya hamper gila, tetapi sudah membuatku gila. Hingga aku tak ingin lagi menengok ke belakang. Menghapus semua yang ada hubungannya denga Sri.
Seandainya Mas Han  tidak berkabar padaku, aku tak mungkin menginjakkan kaki kembali di sini. Hanya karena sebuah SMS singkat. NIKAHKANLAH ANAK GADISMU. Sebuah SMS yang seandainya kuabaikanpun tentu mereka semua akan mengerti. Ketika sebuah SMS datang tak kubalas, kemudian beruntun datang kembali SMS dengan bunyi yang sama.
Perasanku mulai resah. Di kantor aku mulai sering melamun (kata teman-teman yang satu ruangan). Banyak pekerjaan yang akhirnya tertunda. Bahkan yang paling nyata, aku menjadi semakin sensitive. Hanya karena hal yang sepele sudah bisa membuatku marah-marah tak menentu.
Aku jadi mulai dirundung rindu. Membayangkan seperti apakah anak gadisku ini. Apakah dia cantik manis seperti ibunya? Ataukah dia berkulit gelap dengan rahang tegas dan mata setajam elang sepertiku? Ataukah dia tumbuh menjadi gadis perpaduan antara diriku dengan Sri? Ada rasa segan pada kakakku untuk meminta foto anak gadisku. Apalagi aku hamper tak pernah merespon apapun berita tentang darah dagingku ini. Aku mencoba menutup masa laluku. Berleha-leha membayangkan wajah gadisku ini, seperti orang yang sedang jatuh cinta.
“Kerja Man…” suara Makmun mengingatkan.
“Heemm… “ jawabku masih sambil menyandarkan badan di punggung kursi dan kaki berselonjor di atas tumpukan kertas bekas.
“Kapan kau mau kirimkan berkas permohonan ini?”
“Nanti siang sajalah…” sahutku malas-malasan.
“Awas terlambat lagi lho.”
“Iya. Pasti kuantar. Tenang saja.”
“Kenapa sih Man, beberapa hari kau tak bergairah? Capek? Sakit?” Makmun mencoba menelisik.
“Tidak.”
“Lha terus, ngapain?”
“Aku  jatuh cinta.”
Haaaa….. suara mereka serempak. Semua kegiatan berhenti. Retno yang semula asyik dengan computer berhenti. Berdiri mendekatiku. Pelan-pelan menyentuh keningku.
“Bener Pakdhe?” tanyanya hati-hati penuh rasa ingin tahu.
Oo ya… mungkinkah gadisku seperti Retno? Tinggi semampai tapi berisi? Dengan kulit agak terang dan senyum yang cukup menawan? Kuperhatikan Retno lebih teliti. Yang kuperhatikan salah tingkah. Dibetulkannya kerudung yang tidak berubah sejak tadi pagi, masih rapih dan kelimis. Berulang diangkatnya kacamata berbingkai hitam yang dipakainya. Walau dia yakin bahwa kacamata itu tidak berpindah dari tempatnya bertengger, di hidungnya yang mancung. Kuperhatikan lebih jelas. Ah tidak. Gadisku tidak mungkin bertampang judes seperti Retno, Dia pasti lemah lembut seperti Sri, atau tegas sepertiku. Retno akhirnya beranjak kembali ke mejanya setelah tak mendapat jawaban apapun dariku.  
“Bener Man?” Bu Yan ikut-ikutan bertanya.
“Bener…”
“Ingat istri dan anakmu Man…”
“Aku ingat … tapi yang ini lain…”
“Kalau kamu jatuh cinta lagi, anak istrimu bagaimana? Mau dibuang begitu saja?”
“Aku kangen…”
“Uedaann…”
“Kangen banget… sumpah…”
“Man, sadar Man, anak-anakmu sudah besar semua. Kau mau mereka terluka kalau tahu tingkahmu?”
“Aku ingin lihat wajahnya…”
“Parman sudah gila.”
“Aku memang sudah gila.”
“Sadar kau Man, kalau sudah gila?”
“Aku ingin sekali melihatnya… seperti apa dia sekarang?”
“Siapa yang kau maksud Man?”
“Gadisku.”
“Gadis yang telah membuatmu jatuh cinta?”
“Cantikkah dia? Semampaikah dia?”
“Duduk Man. Jangan buat semua orang disini kebingungan mendengar omonganmu yang tidak jelas itu.”
“Aku kangen, bisakah kau tunjukkan wajahnya?”
“Man. Parman.”
“Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang ingin melupakannya. Aku yang telah mengabaikannya. Maafkan aku, maafkan akuuuu….”
Aku berteriak keras-keras, bergerak membabi  buta. Membuat semua penghuni ruangan terpana melihatnya. Kuhamburkan semua yang ada di meja. Suara gelas terbanting tak mengendorkan keinginanku melepaskan diri. Suara Retno, Bu Yan yang berteriak ketakutan memacu keinginanku untuk bergerak lebih beringas. Napasku ngos-ngosan, Ingin rasanya melepaskan beban yang menghimpit. Beban yang membuatku kesulitan untuk bernafas. Buukkk…. sebuah tempelengan menghampiri. Aku terhuyung. Makmun, Jati, Didin, mereka meringkusku.
Kurasakan elusan tangan Bu Yan di bahuku. Retno mengangsurkan aqua gelas.
“Sabar Man. Minuumlah dulu.”
Suara Bu Yan yang teduh, menenangkanku. kuteguk air di gelas yang diasungkan Retno. Rasa pusing bekas tempelengan masih terasa. Aku tak tahu siapa yang sudah melakukannya. Namun aku berterima kasih karenanya.
“Ada masalah bisa dibicarakan Man. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Kami hanya teman, tapi kami jugalah keluargamu. Kalau kau merasa tidak mampu bicara dengan keluargamu, tentu kami akan membantu. Tentu dengan cara yang tepat. Bukan dengan diam dan marah-marah tidak karuan.”
“Setiap masalah pasti ada pemecahannya. Begitu juga masalahmu.”
Aku terguguk mendengar kata-kata Bu Yan. Sebenarnya rasa bersalahlah yang paling kurasakan. Benar, aku yang salah selama ini. Akulah yang selalu berusaha menganggapnya tidak ada. Menganggap bahwa semua itu hanya mimpi buruk yang tak perlu diingat, apalagi diulang kembali. kucoba menguburkannya semuanya. Aku berharap dengan menikah kembali, membangun keluarga baru, maka semua itu akan terlupakan. Ternyata tidak. Di lubuk hati yang paling dalam, aku masih menyimpan mereka.
Ternyata kenangan itu tak pernah sirna dalam hidupku. Sekuat apapun aku mencoba menghindarinya. Masih lekat dalam ingatanku, betapa bahagianya aku menghadapi kelahiran buah cintaku bersama Sri. Gadis pujaanku sejak masih SMP, hingga aku lepas SMA dan bekerja. Sebagi bukti cinta, kamipun akhirnya menikah.
Pada bulan kedua pernikahan, Sri hamil. Kami sambut kehamilan itu dengan suka cita. Betapa aku sangat membatasi kegiatan Sri, karena aku ingin bayi mungil yang sehat. Sri adalah istri yang baik, penurut, maka dia lakukan apa yang kuminta. Akan tetapi, takdir berkata lain. Maut menjemput saat Sri melahirkan. Anakku selamat tapi Sri terlanjur pergi. Kutangisi Sri berhari-hari.
Rasa kehilangan yang amat sangat membuatku seperti orang gila. Hingga aku lupa bahwa aku masih memiliki seorang anak. Yang tak pernah sekalipun kulihat wajahnya. Bahkan sebuah namapun tak pernah kutinggalkan.  Aku melarikan diri dari kenyataan. Berlari sejauh mungkin dan tak pernah ingin kembali.
“Bercerita mungkin akan sedikit mengurangi bebanmu Man.”
Aku tak berselera untuk bercerita. Kuambil telepon genggam dari saku celana. Kubuka pesan dari Kakakku. Kuasungkan pada Bu Yan.
“Kubaca?” tanya Bu Yan menegaskan.
Aku mengangguk. Menunggu reaksi Bu Yan. Dahinya mengernyit, memandangiku penuh tanya.
“Gadismu?” kembali aku mengangguk.
“Kapan?”
“Minggu depan.”
“Istrimu tahu?” aku menggeleng.
“Pulanglah. Itu kuwajibanmu sebagai ayah. Beritahu istrimu baik-baik. Kau pasti bisa menjelaskannya. Kalau perlu bantuanku, kau bisa mengajakku untuk bicara dengan istrimu. Aku percaya, istrimu pasti bisa menerima dengan baik asal kau tak jatuh cinta untuk menikah lagi.”
Aku masih termangu-mangu hingga saat sitirahat siang tiba. Mereka bubar untuk mengisi perut masing-masing sebelum berkutat dengan pekerjaan berikutnya hingga sore hari.
Ndawukan, akhir September 2016



Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Mentari

No comments:

Post a Comment