PULANG
Oleh Murmiyati Hadi Santoso
Yaa
Roob…. Aku hanya bisa bersimpuh di hadapan-Mu. Mengadukan semua ini pada-Mu.
Tak ada lain yang ingin kulakukan, selain berserah diri. Kuserahkan semua
pada-Mu ya Robb. Hanya Engkaulah yang maha menyelesaikan masalah. Hanya
Engkaulah yang mampu mewakili semuanya. Hasbunalloh
wa ni’mal wakiil, ni’mal maulaa wa ni’mannashiir.
Air
mata ini kian menderas. Aku tak mampu
membendungnya. Turun, jatuh membasahi sajadah dan mukena yang kukenakan.
Aku terguguk. Kepala ini terasa kian berat. Ingus dari hidung mengalir. Bayangan dua lelakiku berkelebat.
Jae, lelaki dengan wajah bulat, mata bulat, bibir belah kepundung dan perawakan
yang kokoh. Menatapku dengan pandangan tajam. Matanya yang bulat kian membulat. Tanpa senyum sedikitpun.
Bibirnya bergetar, namun dia berusaha untuk tetap tegar. Tangan kanannya
memegang erat tangan kiri Rian. Lelaki kecilku yang lucu. Wajahnya tirus,
kulitnya sedikit pucat, bulu matanya yang lentik selalu membuatku terpana. Kali
ini dia datang dengan wajahnya yang sendu. Cuping hidung dan matanya memerah.
Bibirnya sedikit terbuka. Digoyangkannya tangan Jae. Sayang, Jae tak bereaksi.
Dia tetap tegak dengan pandangannya yang menuduh. Perih di ulu hati. Biasanya,
dalam saat yang seperti ini aku selalu mendekap mereka. Memeluk mereka
erat-erat. Kalau bisa, ingin meleburkan tubuh mereka dalam tubuhku.
***
“Ibu
mau kerja apa? Bukankah di rumah Ibu juga sudah bekerja?”
Ah,
pertanyaan polos seorang anak. Bagaimana aku harus menjawabnya? Tidak mungkin
aku menjelaskan apa yang menjadi alasan utamaku pergi bekerja ke luar
rumah.
“Ya,
ibu ingin bekerja yang menghasilkan uang banyak, agar kebutuhan kalian semua bisa
tercukupi.”
“Kan
Ayah uda kerja Bu? Kita bisa minta
uang ayah koq.” Jae mencoba memberi alasan.
“Ibu
mau pergi kerja ya? Biar bisa beli mainan buat Rian ya Bu?”
Tiba-tiba
Rian nongol dan ikut nimbrung pembicaraan kami. Tangannya masih memegang sekop
dan ember kecil mainannya. Wajahnya
celingukan melihat meja dapur tempatku menyiangi sayuran. Sementara Jae
memperhatikan kerjaku sambil jemari tangannya mengetuk-ngetuk meja. Sesekali
dia menatapku menunggu jawaban.
“Ehm….
bau acem nih…. Ayo cuci tangan dulu pake sabun ya Nak.” Kataku mengalihkan
perhatian.
“Ibu
beneran mau pergi kerja?” Jae mengulangi pertanyaannya.
“Iya.”
“Nggak
boleh ditawar lagi?”
“Emang
ada tawar menawar ya?”
“Kalau
boleh ditawar sih.”
Aku
tertegun mendengar perkataan jae. Kalau boleh ditawar. Ya…. Kalau boleh
ditawar. Ah, ternyata anakku sudah semakin gede. Aku menatapnya sambil tersenyum
menanggapi pertanyaannya. Kujawab dengan candaan. Walau aku tahu, dia tak
sedang bercanda. Pertanyaannya serius. Seserius keinginanku untuk pergi.
“Kamu
kayak orang gede aja bilang tawar
menawar?”
“Jae
udah gede Bu. Besok kalau Jae uda kerja, Ibu nggak usah kerja. Biar Jae aja.”
Untuk
kedua kalinya aku tertegun. Jae, hari ini dia tampil istimewa untuk anak
seusianya. Anak yang lainmasih berfikir mainan, dia berfikir kerja buat ibunya.
Mataku memanas.
“Iya,
tapi kali ini biar Ibu dulu yang kerja ya…”
“Terus
kalau Ibu pergi, kami sama siapa dong?” Pertanyaan Jae menohokku.
“Sama
Kakung, Uti, Ayah…. Juga Om Dani.”
“Terus
yang ngurusi kami siapa? Masa harus Uti sih, kan kasian Uti, Bu.”
Aku
menunduk, menatapnya lekat-lekat. Benar apa yang Jae katakan. Siapa yang
ngurusi? Jadi aku adalah ibu yang jahat ya? Masa harus Uti? Kasian Uti? Tapi haruskah aku bertahan dalam situasi ini?
Situasi yang tidak jelas? Status yang tidak jelas? Hanya sebagai ibu dan
menantu statusku jelas. Tapi sebagai istri? Aku adalah istri yang sudah ditalak
suami dalam diam. Tak ada surat cerai, tak ada perpisahan. Karena talakku hanya
di dalam kamar tidurku. Dan aku tak kuasa menguak aib ini pada siapapun.
“Kak
Jae kan sudah besar. Kak Jae harus bisa ngurus diri sendiri.”
“Kak
Jae bisa nyuci baju sendiri koq Bu. Nanti punya adik Jae cuciin juga.”
Haa,
anak sekecil itu? Anak usia 12 tahun
sudah berpikir mau nyuci baju milik adiknya? Mataku memerah kembali.
Alhamdulilah ya Alloh. Kau berikan aku anak-anak yang baik dan penuh perhatian.
Aku berdiri, membalikkan badan pura-pura mencari sesuatu. Aku tak mau Jae
melihat aku menangis. Biarkan dia melihat ibunya tegar dan perkasa.
“Kak
Jae mau makan mie rebus” tanyaku mengalihkan perhatian.
“Adik
paling juga mau Bu.”
“Baik,
tunggu sebentar ya? Ibu buatkan dulu.”
Kujerang
panci berisi air, kusiapkan wortel dan sawi.
“Kali
ini nggak usah pake telur ya Kak? Ibu belum sempat belanja lagi.”
Kataku
berbohong. Padahal telur habis dan belum belanja karena memang tak ada uang
lagi buat belanja. Sudah tiga bulan ini Mas Edy tak memberiku uang bulanan.
Belanja tergantung dari kiriman orang tuaku. Itupun kugunakan sehemat mungkin.
Karena hasil kerjaku juga tak menentu dan tidak maksimal. Pekerjaanku sebagai
jasa penerjemah on line tidak terlalu banyak membawa hasil.
“Besok
kalau Ibu sudah kerja, kulkas pasti nggak pernah kosong lagi ya Bu?”
Ah
… pertanyaan anak-anak, hanya makanan dan mainan yang ada dalam benak mereka.
“Yah,
doakan aja ya Kak. Semoga Ibu segera dapat pekerjaan.”
“Amin.”
Sambil
mengaduk-aduk mie pikiranku melayang. Kalau aku tak ada, apakah mereka akan
sebebas ini meminta dimasakkan mie rebus? Kalau mereka sakit siapa yang akan
memeluknya? Mengurusnya seperti kalau aku mengurus mereka?
“Laper
Bu.”
Suara
Rian di belakangku. Mendekapku dari belakang, mencium-cium dan menarik-narik
daster yang kupakai. Itu kebiasaannya
kalau mencari perhatian dariku.
“Iya,
nak. Ini Ibu buatkan mie rebus kesukaan kalian.” Kataku sambil menggamit
tangannya.
Dia
mendongak menatapku. Matanya tak berkedip.
“Gendong.”
Rian
merengek. Matanya menatapku menyipit. Aku membungkuk, mengelus kepalanya.
Kutatap wajahnya yang hampir menangis. Aku tak boleh lemah. Aku harus kuat.
Tenangkan dia tapi jangan digendong. Kuatkan hati. Kau pasti kuat. Suara hatiku
berjejalan ambil suara. Tapi aku seorang ibu. Dia mau digendong. Biarkan dia
jadi laki-laki yang perkasa, bukan laki-laki cengeng. Kuelus bahunya sambil
tersenyum. Senyum yang kupaksakan karena cairan bening ini hampir jatuh. Aku
mendongak sebentar, kukerjapkan mataku. Menghapus cairan yang berjejalan ingin keluar
dari sudut mata. Aku berjongkok di depannya.
“Anak
pinter dan sudah gede masih minta gendong?” kupeluk Rian. Dia balas
memelukku erat. Seolah tak rela melepaskan pelukannya padaku.
Di
sisi meja, Jae melihat kami tanpa suara. Pandangannya menuduh. Aku teriris.
Diamnya Jae justru lebih menusuk daripada segala perkataannya.
“Ups…
Ibu ambilkan mie buat kalian ya?” aku berdiri menjauh dari Rian.
Mengambil
mangkuk dan menuang mie yang sudah masak. Dua lelakiku bersiap diri di kursi.
Seperti biasa, menungguku menyodorkan makanan buat mereka. Pandangan Jae tak
pernah lepas dariku. Apapun gerakanku selalu diikuti tatapannya. Risih aku
dibuatnya.
“Ada
yang perlu Ibu bantu Kak?”
Jae
menggelengkan kepala. Aku tahu, Jae tak suka dengan pertanyaanku. Kusodorkan
dua mangkuk mie tanpa telor pada mereka berdua.
“Ibu
tak makan? Ibu makan bareng Jae aja ya?” Jae memandangiku sambil menyodorkan
mangkuknya. Aku menggeleng.
“Ibu
masih kenyang.” Kataku berbohong, padahal sejak pagi aku belum makan, hanya
minum dua gelas air putih plus madu dua sendok makan.
“Tapi
Ibu sejak pagi belum makan.” Kata Jae lagi.
Aku
menjawabnya dengan senyuman. Berharap senyum itu bisa menenangkan hatinya. Rian makan dengan lahab. Jae kelihatan kurang
bersemangat.
“Mau
tambah cabe Kak?” tanyaku menawarkan.
Jae
menggeleng. Tak bersuara. Lalu semua jadi sunyi. Sunyi sekali. Hanya suara cicak berdecak di dinding sambil
berkejar-kejaran.
***
Tengah
malam telah lewat. Waktu menuju dini hari. Deru gesekan roda kereta terdengar
jelas di telinga. Sebentar lagi pasti akan melintas di dekat kamar yang kami
huni. Mereka masih nyenyak. Hanya satu dua yang bergerak-gerak menghalau nyamuk
yang berdenging di telinga. Kulihat Shoma teman baikku menggeliat. Aku
bergeser. Memberi sedikit ruang agar dia lebih bebas meliukkan tubuhnya yang
bulat.
Kusandarkan
punggungku di dinding yang dingin. Jemari tanganku masih bergerak menjalankan
butir-butir tasbih kecil yang biasa kugunakan sebagai gelang tangan. Rasa sesak
di dada sudah mereda. Sebuah keputusan sudah kubuat. Sudah bulat. Bahwa masih
ada yang lebih dipentingkan daripada uang dan harta. Masih ada yang lebih
berharga dari semuanya. Mereka adalah harta yang tak ternilai harganya. Mengapa
aku harus tega melepasnya begitu saja. Menyingkirkan kepentingan pribadi demi
mereka. Aku pasti bisa. Harus bisa. Demi mereka aku harus mampu melakukan
semuanya.
Perlahan
aku bangkit. Kulepaskan mukena yang basah oleh air mata. Kukemasi barangku yang
tidak seberapa. Aku harus menebus kesalahanku. Tak ada jalan lain. Hanya jalan ini satu-satunya yang bias
kutempuh.
Benar
kata wali kelas Jae waktu itu.
“Apakah
sudah dipikirkan masak-masak? Menjadi seorang ibu harus bijaksana. Mementingkan
diri sendiri hanya akan menuai sesal. Mohon dipertimbangkan kembali.”
Namun
aku tak bergeming. Tetap dengan niatku untuk berangkat ke Taiwan. Kutitipkan
masalah Jae padanya. Karena aku percaya beliau bisa mengendalikan Jae.
Kata-katanya yang bijak. Senyumnya yang lembut membuatku ingin bersandar di
dadanya. Tiba-tiba saja aku telah berada dalam pelukannya. Tersedu-sedu.
Sayang. Sampai bulan ketiga ini aku masih
berada di penampungan, belum ada harapan kapan berangkat. Sementara uang saku
pinjaman dari ayah sudah menipis.
Aku
segera mandi. Bersiap lebih pagi agar bisa mengejar kereta pagi. Sedikit
berhias sekedar mengurangi wajah pucat.
“Mau
kemana Mbar? Pagi-pagi sudah rapi?”
Shoma
bertanya melihatku bersiap. Matanya masih belum terbuka sempurna.
“Pulang.”
Jawabku singkat.
“Haa…
Pulang?” Shoma terperanjat.
“Ya,
anak-anak lebih membutuhkanku, bukan uangku.”
Soga
4, akhir Nov 2014
Kado cantik buat buah hatiku, Mbak Tika, Mas Faid dan Dik Ima
No comments:
Post a Comment