Wednesday, March 7, 2018

cerita pendek


 PULANG

Oleh  Murmiyati Hadi Santoso
  
Yaa Roob…. Aku hanya bisa bersimpuh di hadapan-Mu. Mengadukan semua ini pada-Mu. Tak ada lain yang ingin kulakukan, selain berserah diri. Kuserahkan semua pada-Mu ya Robb. Hanya Engkaulah yang maha menyelesaikan masalah. Hanya Engkaulah yang mampu mewakili semuanya. Hasbunalloh wa ni’mal wakiil, ni’mal maulaa wa ni’mannashiir.
Air mata ini kian menderas. Aku tak mampu  membendungnya. Turun, jatuh membasahi sajadah dan mukena yang kukenakan. Aku terguguk. Kepala ini terasa kian berat. Ingus dari hidung  mengalir. Bayangan dua lelakiku berkelebat. Jae, lelaki dengan wajah bulat, mata bulat, bibir belah kepundung  dan perawakan  yang kokoh. Menatapku dengan pandangan tajam. Matanya  yang bulat kian membulat. Tanpa senyum sedikitpun. Bibirnya bergetar, namun dia berusaha untuk tetap tegar. Tangan kanannya memegang erat tangan kiri Rian. Lelaki kecilku yang lucu. Wajahnya tirus, kulitnya sedikit pucat, bulu matanya yang lentik selalu membuatku terpana. Kali ini dia datang dengan wajahnya yang sendu. Cuping hidung dan matanya memerah. Bibirnya sedikit terbuka. Digoyangkannya tangan Jae. Sayang, Jae tak bereaksi. Dia tetap tegak dengan pandangannya yang menuduh. Perih di ulu hati. Biasanya, dalam saat yang seperti ini aku selalu mendekap mereka. Memeluk mereka erat-erat. Kalau bisa, ingin meleburkan tubuh mereka dalam tubuhku.

***
“Ibu mau kerja apa? Bukankah di rumah Ibu juga sudah bekerja?”
Ah, pertanyaan polos seorang anak. Bagaimana aku harus menjawabnya? Tidak mungkin aku menjelaskan apa yang menjadi alasan utamaku pergi bekerja ke luar rumah. 
“Ya, ibu ingin bekerja yang menghasilkan uang banyak, agar kebutuhan kalian semua bisa tercukupi.”
“Kan Ayah uda kerja Bu? Kita bisa minta uang ayah koq.” Jae mencoba memberi alasan.
“Ibu mau pergi kerja ya? Biar bisa beli mainan buat Rian ya Bu?”
Tiba-tiba Rian nongol dan ikut nimbrung pembicaraan kami. Tangannya masih memegang sekop dan ember kecil  mainannya. Wajahnya celingukan melihat meja dapur tempatku menyiangi sayuran. Sementara Jae memperhatikan kerjaku sambil jemari tangannya mengetuk-ngetuk meja. Sesekali dia menatapku menunggu jawaban.
“Ehm…. bau acem nih…. Ayo cuci tangan dulu pake sabun ya Nak.” Kataku mengalihkan perhatian.
“Ibu beneran mau pergi kerja?” Jae mengulangi pertanyaannya.
“Iya.”
“Nggak boleh ditawar lagi?”
“Emang ada tawar menawar ya?”
“Kalau boleh ditawar sih.”
Aku tertegun mendengar perkataan jae. Kalau boleh ditawar. Ya…. Kalau boleh ditawar. Ah, ternyata anakku sudah semakin gede. Aku menatapnya sambil tersenyum menanggapi pertanyaannya. Kujawab dengan candaan. Walau aku tahu, dia tak sedang bercanda. Pertanyaannya serius. Seserius keinginanku untuk pergi.
“Kamu kayak orang gede aja bilang tawar menawar?”
“Jae udah gede Bu. Besok kalau Jae uda kerja, Ibu nggak usah kerja. Biar Jae aja.”
Untuk kedua kalinya aku tertegun. Jae, hari ini dia tampil istimewa untuk anak seusianya. Anak yang lainmasih berfikir mainan, dia berfikir kerja buat ibunya. Mataku memanas.
“Iya, tapi kali ini biar Ibu dulu yang kerja ya…”
“Terus kalau Ibu pergi, kami sama siapa dong?” Pertanyaan Jae menohokku.
“Sama Kakung, Uti, Ayah…. Juga Om Dani.”
“Terus yang ngurusi kami siapa? Masa harus Uti sih, kan kasian Uti, Bu.”
Aku menunduk, menatapnya lekat-lekat. Benar apa yang Jae katakan. Siapa yang ngurusi? Jadi aku adalah ibu yang jahat ya? Masa harus Uti? Kasian Uti?  Tapi haruskah aku bertahan dalam situasi ini? Situasi yang tidak jelas? Status yang tidak jelas? Hanya sebagai ibu dan menantu statusku jelas. Tapi sebagai istri? Aku adalah istri yang sudah ditalak suami dalam diam. Tak ada surat cerai, tak ada perpisahan. Karena talakku hanya di dalam kamar tidurku. Dan aku tak kuasa menguak aib ini pada siapapun.
“Kak Jae kan sudah besar. Kak Jae harus bisa ngurus diri sendiri.”
“Kak Jae bisa nyuci baju sendiri koq Bu. Nanti punya adik Jae cuciin juga.”
Haa, anak sekecil itu? Anak usia 12 tahun  sudah berpikir mau nyuci baju milik adiknya? Mataku memerah kembali. Alhamdulilah ya Alloh. Kau berikan aku anak-anak yang baik dan penuh perhatian. Aku berdiri, membalikkan badan pura-pura mencari sesuatu. Aku tak mau Jae melihat aku menangis. Biarkan dia melihat ibunya tegar dan perkasa.
“Kak Jae mau makan mie rebus” tanyaku mengalihkan perhatian.
“Adik paling juga mau Bu.”
“Baik, tunggu sebentar ya? Ibu buatkan dulu.”
Kujerang panci berisi air, kusiapkan wortel dan sawi.
“Kali ini nggak usah pake telur ya Kak? Ibu belum sempat belanja lagi.”
Kataku berbohong. Padahal telur habis dan belum belanja karena memang tak ada uang lagi buat belanja. Sudah tiga bulan ini Mas Edy tak memberiku uang bulanan. Belanja tergantung dari kiriman orang tuaku. Itupun kugunakan sehemat mungkin. Karena hasil kerjaku juga tak menentu dan tidak maksimal. Pekerjaanku sebagai jasa penerjemah on line tidak terlalu banyak membawa hasil.
“Besok kalau Ibu sudah kerja, kulkas pasti nggak pernah kosong lagi ya Bu?”
Ah … pertanyaan anak-anak, hanya makanan dan mainan yang ada dalam benak mereka.
“Yah, doakan aja ya Kak. Semoga Ibu segera dapat pekerjaan.”
“Amin.”
Sambil mengaduk-aduk mie pikiranku melayang. Kalau aku tak ada, apakah mereka akan sebebas ini meminta dimasakkan mie rebus? Kalau mereka sakit siapa yang akan memeluknya? Mengurusnya seperti kalau aku mengurus mereka?
“Laper Bu.”
Suara Rian di belakangku. Mendekapku dari belakang, mencium-cium dan menarik-narik daster yang kupakai.  Itu kebiasaannya kalau mencari perhatian dariku.
“Iya, nak. Ini Ibu buatkan mie rebus kesukaan kalian.” Kataku sambil menggamit tangannya.
Dia mendongak menatapku. Matanya tak berkedip.
Gendong.”
Rian merengek. Matanya menatapku menyipit. Aku membungkuk, mengelus kepalanya. Kutatap wajahnya yang hampir menangis. Aku tak boleh lemah. Aku harus kuat. Tenangkan dia tapi jangan digendong. Kuatkan hati. Kau pasti kuat. Suara hatiku berjejalan ambil suara. Tapi aku seorang ibu. Dia mau digendong. Biarkan dia jadi laki-laki yang perkasa, bukan laki-laki cengeng. Kuelus bahunya sambil tersenyum. Senyum yang kupaksakan karena cairan bening ini hampir jatuh. Aku mendongak sebentar, kukerjapkan mataku. Menghapus cairan yang berjejalan ingin keluar dari sudut mata. Aku berjongkok di depannya.
“Anak pinter dan sudah gede masih minta gendong?” kupeluk Rian. Dia balas memelukku erat. Seolah tak rela melepaskan pelukannya padaku.
Di sisi meja, Jae melihat kami tanpa suara. Pandangannya menuduh. Aku teriris. Diamnya Jae justru lebih menusuk daripada segala perkataannya.
“Ups… Ibu ambilkan mie buat kalian ya?” aku berdiri menjauh dari Rian.
Mengambil mangkuk dan menuang mie yang sudah masak. Dua lelakiku bersiap diri di kursi. Seperti biasa, menungguku menyodorkan makanan buat mereka. Pandangan Jae tak pernah lepas dariku. Apapun gerakanku selalu diikuti tatapannya. Risih aku dibuatnya.
“Ada yang perlu Ibu bantu Kak?”
Jae menggelengkan kepala. Aku tahu, Jae tak suka dengan pertanyaanku. Kusodorkan dua mangkuk mie tanpa telor pada mereka berdua.
“Ibu tak makan? Ibu makan bareng Jae aja ya?” Jae memandangiku sambil menyodorkan mangkuknya. Aku menggeleng.
“Ibu masih kenyang.” Kataku berbohong, padahal sejak pagi aku belum makan, hanya minum dua gelas air putih plus madu dua sendok makan.
“Tapi Ibu sejak pagi belum makan.” Kata Jae lagi.
Aku menjawabnya dengan senyuman. Berharap senyum itu bisa menenangkan hatinya.  Rian makan dengan lahab. Jae kelihatan kurang bersemangat.
“Mau tambah cabe Kak?” tanyaku menawarkan.
Jae menggeleng. Tak bersuara. Lalu semua jadi sunyi. Sunyi sekali.  Hanya suara cicak berdecak di dinding sambil berkejar-kejaran.

***
Tengah malam telah lewat. Waktu menuju dini hari. Deru gesekan roda kereta terdengar jelas di telinga. Sebentar lagi pasti akan melintas di dekat kamar yang kami huni. Mereka masih nyenyak. Hanya satu dua yang bergerak-gerak menghalau nyamuk yang berdenging di telinga. Kulihat Shoma teman baikku menggeliat. Aku bergeser. Memberi sedikit ruang agar dia lebih bebas meliukkan tubuhnya yang bulat.
Kusandarkan punggungku di dinding yang dingin. Jemari tanganku masih bergerak menjalankan butir-butir tasbih kecil yang biasa kugunakan sebagai gelang tangan. Rasa sesak di dada sudah mereda. Sebuah keputusan sudah kubuat. Sudah bulat. Bahwa masih ada yang lebih dipentingkan daripada uang dan harta. Masih ada yang lebih berharga dari semuanya. Mereka adalah harta yang tak ternilai harganya. Mengapa aku harus tega melepasnya begitu saja. Menyingkirkan kepentingan pribadi demi mereka. Aku pasti bisa. Harus bisa. Demi mereka aku harus mampu melakukan semuanya.
Perlahan aku bangkit. Kulepaskan mukena yang basah oleh air mata. Kukemasi barangku yang tidak seberapa. Aku harus menebus kesalahanku. Tak ada jalan lain.  Hanya jalan ini satu-satunya yang bias kutempuh.
Benar kata wali kelas Jae waktu itu.
“Apakah sudah dipikirkan masak-masak? Menjadi seorang ibu harus bijaksana. Mementingkan diri sendiri hanya akan menuai sesal. Mohon dipertimbangkan kembali.”
Namun aku tak bergeming. Tetap dengan niatku untuk berangkat ke Taiwan. Kutitipkan masalah Jae padanya. Karena aku percaya beliau bisa mengendalikan Jae. Kata-katanya yang bijak. Senyumnya yang lembut membuatku ingin bersandar di dadanya. Tiba-tiba saja aku telah berada dalam pelukannya. Tersedu-sedu.
 Sayang. Sampai bulan ketiga ini aku masih berada di penampungan, belum ada harapan kapan berangkat. Sementara uang saku pinjaman dari ayah sudah menipis.
Aku segera mandi. Bersiap lebih pagi agar bisa mengejar kereta pagi. Sedikit berhias sekedar mengurangi wajah pucat.
“Mau kemana Mbar? Pagi-pagi sudah rapi?”
Shoma bertanya melihatku bersiap. Matanya masih belum terbuka sempurna.
“Pulang.” Jawabku singkat.
“Haa… Pulang?” Shoma terperanjat.
“Ya, anak-anak lebih membutuhkanku, bukan uangku.”

                                                                                                                                Soga 4, akhir Nov 2014
Kado cantik buat buah hatiku, Mbak Tika, Mas Faid dan Dik Ima


Cerpen ini dimuat di majalah Mentari edisi Januari 2015 



No comments:

Post a Comment