Masih Ada Kesempatan
Oleh : Murmiyati Hadi Santoso
Ibu
jariku masih menari-nari. Menjelajah tiap buku
jari. Bukan menghitung, hanya menandai. Mungkin sudah ribuan Al Fatihah
dan surat Ikhlas yang meluncur dari bibirku sejak berangkat dari stasiun
Rogojampi. Menyelaraskan ungkapan dengan tarikan nafas. Seperti yang pernah
diajarkan oleh pamanku saat hati gelisah. Mencari tenang. Memburu ridho dari
Yang Maha Kuasa. Berharap senantiasa diberikan kesabaran dan kelapangan dada.
Dilimpahkan rasa ikhlas menerima apapun yang telah diberikan-Nya. Apa pun,
tanpa kecuali.
Derit
roda kereta beradu dengan rel, berdecit-decit. Gerbong sunyi. Wajah-wajah yang
terkantuk-kantuk, kepala menunduk bergoyang kesana kemari. Sepasang anak muda
di depanku memautkan telapak tangan, jemarinya beradu saling menggegam, seolah
takut kehilangan. Tak mengganggu gerakan bibirku. Kepalanya juga
terangguk-angguk mengikuti goyangan gerbong kereta. Kepala si gadis berulang
kali lepas dari pundak sang jejaka. Setiap kali itu terjadi, tangan kanan sang
jejaka akan memposisikan kembali kepala gadis itu di pundaknya seperti semula.
Kuluruskan kakiku yang pegal. Sedikit meliukkan badan berharap Ibu sepuh di sampingku tidak terganggu
dengan gerakkanku. Dinginnya AC kian menggigit, kurapatkan kancing jaket dan pashmina
yang kukenakan. Pandangan ku lempar keluar, lampu-lampu berkelap-kelip di
kejauhan. Seperti saling bekejaran.
Kereta
sudah berjalan berjam-jam. Namun tidak seperti penumpang yang lain, mataku tak
juga bisa kupejamkan. Suara anak sulungku masih terngiang-ngiang.
“Ibu
harus ke Jogja.”
“Kapan
Le?”
“Sekarang.”
“Lah, sekarang?”
“Iya
sekarang Bu!”
“Kamu
kangen Ibu? Mbok besok Sabtu to Le. Keadaan ibu masih belum memungkinkan. Hari Jumat Ibu masih
harus control jahitan lagi di RS Fatimah.”
Kataku
membujuk, belum dua minggu aku selesai operasi pengangkatan Rahim karena ada
myom di rahimku. Sebenarnya aku tidak tega menyampaikan berita ini ada anak
sulungku. Tapi apa boleh buat.
“Ini
penting Bu.”
“Kalau
diurus Mbak Ema gimana?”
“Koq
Mbak Ema sih?”
“Lha
maumu siapa?”
“Aku
kan bukan anak Mbak Ema Bu?”
“Nanti
Ibu bicarakan dengan Mbak Ema dulu ya Le.
Besok sehabis control Ibu langsung ke Jogja.”
“Ouwh….”
“Kenapa?”
“Aku
malu sama Mbak Ema?”
“Lah sama kakak sendiri malu? Ada masalah
apa to?”
“Yang
penting Ibu ke Jogja saja. Kata Ustad secepatnya orang tua harus menghadap.”
“Ada
masalah apalagi to Le? Kamu buat ulah
apalagi? Kamu di skorsing lagi?”
“Ibu
nanti akan tahu masalahnya. Yang penting Ibu ke Jogja.”
Lalu
telpon ditutup. Telepon asrama yang kutelpon balik tidak aktif. Bekas luka
jahitanku kembali terasa. Masih nyeri. Sebuah dilemma. Aku tak mungkin meminta
ayahnya untuk ke Jogja, karena dia baru saja berangkat bekerja di luar pulau.
Beberapa
bulan yang lalu, anak sulungku ini sudah kena skorsing 10 hari karena kesalahan
yang dia lakukan. Saat itu aku marah besar, sampai-sampai aku tak
mengijinnkannya untuk pulang walau dia harus berada di luar asrama. Karena aku
tak pernah bisa membayangkan, apa yang sudah dia lakukan hingga dia kena
skorsing sekian lama. Setiap kali pulang aku selalu berpesan, jadilah anak yang
baik, tertib dan rajin. Dalam doa-doaku
aku tak pernah lupa mendoakan agar anakku ini menjadi anak yang sholeh dan bisa
menjadi imam yang baik. Mengapa dia masih juga berulah. Tak jera dengan
skorsing yang pernah dia terima.
Goncangan
keras pada gerbong yang kutumpangi menghentak-hentak. Decit roda kereta mencicit-cicit. Sambungan antar gerbong
berderak-derak. Kereta mendekat sebuah stasiun, kemudian berhenti di salah-satu
jalur. Sebuah pemberitahuan dari stasiun terdengar keras tapi tak jelas, kalah
dengan suara kereta lain yang lewat. Aku tak bisa melihat nama stasiun dari
tempatku duduk.
Stasiun
relative sepi. Tak lagi kulihat pedagang asongan yang menjajakan dagangannya di
stasiun itu. Sebuah pemandangan yang menurutku sangat mengasyikkan. Melihat ibu-ibu
membawa dagangan di atas kepala beralas baskom. Berisi nasi bungkus, pisang
rebus, kacang rebus, atau pleh-oleh khas daerah. Dengan suaranya yang saling
beradu, bersaing mencari pembeli. Yang
ada sekarang hanya lalu lalang beberapa orang calon penumpang.
Pandanganku
terhenti pada seorang pemuda tanggung berperawakan kecil, mengenakan celana
pensil dan kaos hitam yang kebesaran. Persis Yassin, anak sulungku. Dia paling
suka dengan penampilan seperti itu, walau beberapa kali aku protes. Tapi dia
tak pernah mau berganti penampilan. Yassin. Anak sulungku ini kukirim sekolah
asrama di Jogja. Dengan harapan dia bisa mendapat pendidikan yang baik.
Disiplin tinggi, ilmu agama yang cukup. Mengapa justru di kota ini dia berubah?
Aku seperti tak mengenali anakku sendiri.
Suara
peluit kepala stasiun melengking. Kereta kembali bergerak. Roda kereta
berderak-derak. Berjalan amat lambat rasanya. Aku ingin segera mendengar berita
tentang Yassin. Saat telepon kemarin, kakakku yang selama ini kutitipi Yassin tidak
mau bercerita apa-apa. Hanya berpesan bila sudah sampai setasiun harap
menghubungi.
Masih
sekitar 2 jam lagi sampai Jogja. Kulihat chat WhatsApp. Ternyata kakakku sudah
bangun. Kukabarkan padanya kalau sekitar 2 jam lagi aku akan sampai Jogja. Dia
hanya menjawab singkat. Kucoba pejamkan mata di waktu yang tersisa.
***
Ternyata
kakakku sendiri bersama istri juga ponakanku Ema yang menjemput. Aku baru ingat
bahwa ini hari Ahad. Maka beliau berdua yang dating menjemput karena mereka
libur. Keluar setasiun, kulihat Ema melambaikan tangan padaku. Aku segera
mendekat. Kupeluk mereka erat. Kuserahkan dua toples rempeyek dan bawang goring
kesukaan mereka. Kami segera menuju tempat parker. Kulihat Ema cekatan mempersiapkan
diri di belakang kemudi.
Sesampainya
di rumah, aku langsung disidang. Tanpa mandi dulu, atau sarapan dulu.
Diceritakannya kesalahan anakku hingga dia kena skorsing. Pinjam motor tetangga
asrama kemudian kena tilang dan motor disita. Sering meninggalkan jamaah sholat
shubuh. Masih punya banyak tagihan hafalan surat. Beberapa kali pergi keluar
asrama tanpa ijin. Tertangkap tangan saat main game di warnet.
Termangu-mangu
aku mendengar penjelasan kakakku. Kalau di rumah, dia anak manis. Tak pernah
berulah, nurut apa kata-kataku. Ternyata di sini, di tempat yang jauh dariku,
dia berulah. Aku hanya bisa menarik
nafas panjang. Mataku panas. Ingin rasanya menangis keras-keras mengurangi
beban di hati. Namun di hadapan kakakku yang satu ini, aku tak boleh menangis.
Dia tak suka melihat wanita yang cengeng.
“Masalah
tak akan selesai hanya dengan menangis.”
Katanya
waktu itu. Saat aku dating padanya dengan sebuah masalah. Dan itu menjadi
pegangan, untuk tetap tegar, apapun yang terjadi. Jangan pernah meneteskan air
mata di hadapannya. Akhirnya setelah bercerita panjang lebar, kakakku berkata.
“Sudah sepantasnya bila dia dikeluarkan dengan
kesalahan yang sebanyak itu.”
Keluar?
Dikeluarkan? Beribu kunang-kunang
menyerbu pandanganku. Aku merasa seperti tanpa bobot. Melayang. Tanganku
menggapai-gapai mencari pegangan. Aku takut terbawa angin. Udara yang sembribit sangat mungkin melemparkanku
kemana saja. Seperti sepotong daun apokat yang jatuh terbawa angin.
Terjerembab, terseok-seok dihempas angin, kembali terbang melayang, kemudian
tersangkut di pohon kelor, jatuh luruh, terjerembab di dekat tempat sampah.
“Bulik….
“
Suara
Ema membangun kesadaranku kembali. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menguasai
diri. Menguatkan hati. Mengusir beribu kunang yang sempat mampir. Kucoba
kembali membuka mataku.
“Jadi
dikeluarkan ya Mbak?” tanyaku pasrah.
“Seharusnya
begitu Bulik.”
“Karena
anakmu berjasa pada sekolah, maka hanya diskorsing.” Sahut kakakku.
Berjasa?
Anakku berjasa apa?
“Maksudnya
gimana Mas?”
“Karena
anakmu termasuk tim inti futsal di sekolahnya, dan beberapa kali menyumbangkan
medali emas pada sekolah. Maka hukuman yang didapat hanya skorsing 10 hari.”
“Jadi?”
pertanyaanku menggantung.
“Tidak
jadi dikeluarkan.” Kata Kakakku tegas sambil tersenyum.
Kembali
aku terhenyak. Memandang Kakakku yang tersenyum dan mengangguk. Aku terpana.
“Bersyukurlah,
masih diberi kesempatan.”
Kulakukan
sujud syukur di tempat itu juga. Bersyukur atas karunia Alloh ayng tiidak
terkira. Kupanjangkan sujudku. Mencium tanah tempat berpijak. Mencium tanah
tempat kembali. Alhamdulillah, masih ada kesempatan.
Cerpen ini dimuat di majalah Mentari edisi Agustus 2016
No comments:
Post a Comment