Wednesday, March 7, 2018

cerita pendek


Masih Ada Kesempatan


Oleh : Murmiyati Hadi Santoso

Ibu jariku masih menari-nari. Menjelajah tiap buku  jari. Bukan menghitung, hanya menandai. Mungkin sudah ribuan Al Fatihah dan surat Ikhlas yang meluncur dari bibirku sejak berangkat dari stasiun Rogojampi. Menyelaraskan ungkapan dengan tarikan nafas. Seperti yang pernah diajarkan oleh pamanku saat hati gelisah. Mencari tenang. Memburu ridho dari Yang Maha Kuasa. Berharap senantiasa diberikan kesabaran dan kelapangan dada. Dilimpahkan rasa ikhlas menerima apapun yang telah diberikan-Nya. Apa pun, tanpa kecuali.
Derit roda kereta beradu dengan rel, berdecit-decit. Gerbong sunyi. Wajah-wajah yang terkantuk-kantuk, kepala menunduk bergoyang kesana kemari. Sepasang anak muda di depanku memautkan telapak tangan, jemarinya beradu saling menggegam, seolah takut kehilangan. Tak mengganggu gerakan bibirku. Kepalanya juga terangguk-angguk mengikuti goyangan gerbong kereta. Kepala si gadis berulang kali lepas dari pundak sang jejaka. Setiap kali itu terjadi, tangan kanan sang jejaka akan memposisikan kembali kepala gadis itu di pundaknya seperti semula. Kuluruskan kakiku yang pegal. Sedikit meliukkan badan berharap Ibu sepuh di sampingku tidak terganggu dengan gerakkanku. Dinginnya AC kian menggigit, kurapatkan kancing jaket dan pashmina yang kukenakan. Pandangan ku lempar keluar, lampu-lampu berkelap-kelip di kejauhan. Seperti saling bekejaran.
Kereta sudah berjalan berjam-jam. Namun tidak seperti penumpang yang lain, mataku tak juga bisa kupejamkan. Suara anak sulungku masih terngiang-ngiang.
“Ibu harus ke Jogja.”
“Kapan Le?”
“Sekarang.”
Lah, sekarang?”
“Iya sekarang Bu!”
“Kamu kangen Ibu? Mbok  besok Sabtu to Le. Keadaan ibu masih belum memungkinkan. Hari Jumat Ibu masih harus control jahitan lagi di RS Fatimah.”
Kataku membujuk, belum dua minggu aku selesai operasi pengangkatan Rahim karena ada myom di rahimku. Sebenarnya aku tidak tega menyampaikan berita ini ada anak sulungku. Tapi apa boleh buat.
“Ini penting Bu.”
“Kalau diurus Mbak Ema gimana?”
“Koq Mbak Ema sih?”
“Lha maumu siapa?”
“Aku kan bukan anak Mbak Ema Bu?”
“Nanti Ibu bicarakan dengan Mbak Ema dulu ya Le. Besok sehabis control Ibu langsung ke Jogja.”
“Ouwh….”
“Kenapa?”
“Aku malu sama Mbak Ema?”
Lah sama kakak sendiri malu? Ada masalah apa to?”
“Yang penting Ibu ke Jogja saja. Kata Ustad secepatnya orang tua harus menghadap.”
“Ada masalah apalagi to Le? Kamu buat ulah apalagi? Kamu di skorsing lagi?”
“Ibu nanti akan tahu masalahnya. Yang penting Ibu ke Jogja.”
Lalu telpon ditutup. Telepon asrama yang kutelpon balik tidak aktif. Bekas luka jahitanku kembali terasa. Masih nyeri. Sebuah dilemma. Aku tak mungkin meminta ayahnya untuk ke Jogja, karena dia baru saja berangkat bekerja di luar pulau.
Beberapa bulan yang lalu, anak sulungku ini sudah kena skorsing 10 hari karena kesalahan yang dia lakukan. Saat itu aku marah besar, sampai-sampai aku tak mengijinnkannya untuk pulang walau dia harus berada di luar asrama. Karena aku tak pernah bisa membayangkan, apa yang sudah dia lakukan hingga dia kena skorsing sekian lama. Setiap kali pulang aku selalu berpesan, jadilah anak yang baik, tertib dan rajin.  Dalam doa-doaku aku tak pernah lupa mendoakan agar anakku ini menjadi anak yang sholeh dan bisa menjadi imam yang baik. Mengapa dia masih juga berulah. Tak jera dengan skorsing yang pernah dia terima.
Goncangan keras pada gerbong yang kutumpangi menghentak-hentak. Decit roda kereta  mencicit-cicit. Sambungan antar gerbong berderak-derak. Kereta mendekat sebuah stasiun, kemudian berhenti di salah-satu jalur. Sebuah pemberitahuan dari stasiun terdengar keras tapi tak jelas, kalah dengan suara kereta lain yang lewat. Aku tak bisa melihat nama stasiun dari tempatku duduk.
Stasiun relative sepi. Tak lagi kulihat pedagang asongan yang menjajakan dagangannya di stasiun itu. Sebuah pemandangan yang menurutku sangat mengasyikkan. Melihat ibu-ibu membawa dagangan di atas kepala beralas baskom. Berisi nasi bungkus, pisang rebus, kacang rebus, atau pleh-oleh khas daerah. Dengan suaranya yang saling beradu,  bersaing mencari pembeli. Yang ada sekarang hanya lalu lalang beberapa orang calon penumpang.
Pandanganku terhenti pada seorang pemuda tanggung berperawakan kecil, mengenakan celana pensil dan kaos hitam yang kebesaran. Persis Yassin, anak sulungku. Dia paling suka dengan penampilan seperti itu, walau beberapa kali aku protes. Tapi dia tak pernah mau berganti penampilan. Yassin. Anak sulungku ini kukirim sekolah asrama di Jogja. Dengan harapan dia bisa mendapat pendidikan yang baik. Disiplin tinggi, ilmu agama yang cukup. Mengapa justru di kota ini dia berubah? Aku seperti tak mengenali anakku sendiri.
Suara peluit kepala stasiun melengking. Kereta kembali bergerak. Roda kereta berderak-derak. Berjalan amat lambat rasanya. Aku ingin segera mendengar berita tentang Yassin. Saat telepon kemarin, kakakku yang selama ini kutitipi Yassin tidak mau bercerita apa-apa. Hanya berpesan bila sudah sampai setasiun harap menghubungi.
Masih sekitar 2 jam lagi sampai Jogja. Kulihat chat WhatsApp. Ternyata kakakku sudah bangun. Kukabarkan padanya kalau sekitar 2 jam lagi aku akan sampai Jogja. Dia hanya menjawab singkat. Kucoba pejamkan mata di waktu yang tersisa.
***
Ternyata kakakku sendiri bersama istri juga ponakanku Ema yang menjemput. Aku baru ingat bahwa ini hari Ahad. Maka beliau berdua yang dating menjemput karena mereka libur. Keluar setasiun, kulihat Ema melambaikan tangan padaku. Aku segera mendekat. Kupeluk mereka erat. Kuserahkan dua toples rempeyek dan bawang goring kesukaan mereka. Kami segera menuju tempat parker. Kulihat Ema cekatan mempersiapkan diri di belakang kemudi.
Sesampainya di rumah, aku langsung disidang. Tanpa mandi dulu, atau sarapan dulu. Diceritakannya kesalahan anakku hingga dia kena skorsing. Pinjam motor tetangga asrama kemudian kena tilang dan motor disita. Sering meninggalkan jamaah sholat shubuh. Masih punya banyak tagihan hafalan surat. Beberapa kali pergi keluar asrama tanpa ijin. Tertangkap tangan saat main game di warnet.
Termangu-mangu aku mendengar penjelasan kakakku. Kalau di rumah, dia anak manis. Tak pernah berulah, nurut apa kata-kataku. Ternyata di sini, di tempat yang jauh dariku, dia berulah. Aku  hanya bisa menarik nafas panjang. Mataku panas. Ingin rasanya menangis keras-keras mengurangi beban di hati. Namun di hadapan kakakku yang satu ini, aku tak boleh menangis. Dia tak suka melihat wanita yang cengeng.
“Masalah tak akan selesai hanya dengan menangis.”
Katanya waktu itu. Saat aku dating padanya dengan sebuah masalah. Dan itu menjadi pegangan, untuk tetap tegar, apapun yang terjadi. Jangan pernah meneteskan air mata di hadapannya. Akhirnya setelah bercerita panjang lebar, kakakku berkata.
 “Sudah sepantasnya bila dia dikeluarkan dengan kesalahan yang sebanyak itu.”
Keluar? Dikeluarkan?  Beribu kunang-kunang menyerbu pandanganku. Aku merasa seperti tanpa bobot. Melayang. Tanganku menggapai-gapai mencari pegangan. Aku takut terbawa angin. Udara yang sembribit sangat mungkin melemparkanku kemana saja. Seperti sepotong daun apokat yang jatuh terbawa angin. Terjerembab, terseok-seok dihempas angin, kembali terbang melayang, kemudian tersangkut di pohon kelor, jatuh luruh, terjerembab di dekat tempat sampah.
“Bulik…. “
Suara Ema membangun kesadaranku kembali. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menguasai diri. Menguatkan hati. Mengusir beribu kunang yang sempat mampir. Kucoba kembali membuka mataku.
“Jadi dikeluarkan ya Mbak?” tanyaku pasrah.
“Seharusnya begitu Bulik.”
“Karena anakmu berjasa pada sekolah, maka hanya diskorsing.” Sahut kakakku.
Berjasa? Anakku berjasa apa?
“Maksudnya gimana Mas?”
“Karena anakmu termasuk tim inti futsal di sekolahnya, dan beberapa kali menyumbangkan medali emas pada sekolah. Maka hukuman yang didapat hanya skorsing 10 hari.”
“Jadi?” pertanyaanku menggantung.
“Tidak jadi dikeluarkan.” Kata Kakakku tegas sambil tersenyum.
Kembali aku terhenyak. Memandang Kakakku yang tersenyum dan mengangguk. Aku terpana.
“Bersyukurlah, masih diberi kesempatan.”
Kulakukan sujud syukur di tempat itu juga. Bersyukur atas karunia Alloh ayng tiidak terkira. Kupanjangkan sujudku. Mencium tanah tempat berpijak. Mencium tanah tempat kembali. Alhamdulillah, masih ada kesempatan.



Cerpen ini dimuat di majalah Mentari edisi Agustus 2016

No comments:

Post a Comment