Wednesday, March 7, 2018

cerita pendek


WANITA YANG PALING KUBENCI
Murmiyati Hadi Santoso

“Ayo bangun… ini sudah di sekolah.”
                Suara yang lembut itu menyentuh gendang telingaku. Disertai tepukan di pundak kanan beberapa kali. Tepukan yang lembut. Aku seperti dininabobokkan kembali. Tepukan itu berulang di punggung kiriku.
                “Bangun Nak… ayoo bangun dulu…”
                Kembali suara lembut itu membisik di telinga.  Kurasakan pijatan  yang lebih kuat di pundak kananku. Sakit. Kutegakkan badan. Tawa cekikikan terdengar di sana-sini.
                “Dasar tukang tidur.”
                 Mata ini berat untuk membuka. Kupaksa untuk melek. Sinar yang tertangkap membuat mataku kriyip-kriyip.
                “Cuci muka dulu Fahri.”
 Sebuah perintah yang menyihir. Seperti boneka, aku berjalan keluar menuju kamar kecil untuk cuci muka  berlama-lama.  Kelopak mata ini seperti ada pemberatnya. Kembali masuk ke ruang kelas.  Kembali pada kegiatan semula. Belajar bahasa.
Suaranya yang merdu itu kian sayup. Mata ini tak mau  diajak kompromi. Melekat erat. Maklum, semalam aku pulang jam tiga dini hari. Karena kami, aku, Irvan dan Evan baru saja uji nyali, semalaman di petilasan Raden Rangga yang menurut berita sangat angker.   
“Bangun Nak, masih pagi.” Sebuah tepukan di pundak mengganggu nyenyakku.
“Ayo Nak, bangun dulu.” Suara lembut itu kembali terdengar.
Aku merasa kaki kananku pegal sekali. Kucoba luruskan, menyentuh kaki meja dan menimbulkan bunyi. Aku menggeliat.
“Bangun… bangun… sudah siang…”
Suara-suara yang memintaku bangun bersahutan.
“He bangun, mau sekolah apa tidur sih?”
“Kalau Cuma tidur pulang aja!” suara cempreng itu kembali terdengar.
“Bangun Nak….”
Suaranya kembali terdengar. Tangannya memijit pundak kananku. Kuenyahkan tangannya dengan gerakan kasar.
Kucoba buka mataku. Semua siswa memandangku dengan berjuta tatapan mata, menuduh. Seorang wanita bertubuh tinggi semampai berkaca mata memandangku dengan senyuman. Benci rasanya aku melihatnya. Dibalik tatapannya itu, aku melihat seringai serigala.
“Aku nggak suka ditegur berulang-ulang.” Teriakku.
“Kamu marah Nak?”
Pertanyaan yang sinis. Aku menatapnya garang. Dia tetap dengan senyumannya.
“Baiklah, Ibu tak akan menegurmu lagi.”
Kelas jadi sunyi. Wanita itu menatap semua siswa. Satu per satu. Seperti ingin mendalami isi hati mereka semua. Kulihat siswa lain menatapku janggal. Hening.
“Mari kita lanjutkan pembahasan ya Nak.”
Keheningan itu terkoyak oleh suaranya yang lembut namun penuh wibawa. Senyumnya tetap menghias bibirnya yang tipis. Aku merasa senyuman itu seperti mengejekku, melecehkanku. Tak sekalipun dia menatapku kembali. Melirikpun tidak.
 Wanita itu kembali mengutak utik mouse. Semua menatap layar, tayangan  itu menyilaukanku.  Silau… ya sangat silau. Kupejamkan kembali mataku. Masih terasa sinar dari layar menembus kelopak mata.
Sinar itu membentuk bayang-bayang. Sebuah siluet, yang semakin lama semakin jelas.  Seekor kuda yang gagah berwarna coklat kehitaman, berlari kencang kearahku. Berlari kencang, meninggalkan debu-debu menggulung di belakangnya. Aku mencoba menyisih dari lintasan. Kakiku berat untuk melangkah.  Seluruh tenagaku hilang lenyap. Aku terpuruk. Lari kuda itu semakin dekat. Kulihat jelas bentuk kaki yang kokoh, paha yang kuat, saling berebut melangkah. Debu bergulung-gulung. Telapak kaki kuda itu serasa hendak menyentuh wajah. Kutekuk wajahku, menunggu kaki kuda itu melintas di mukaku, menginjak keras tubuhku yang tanda daya. Tengkukku dingin. Tak ada suara lain yang terdengar. Kututup mataku. Kututup  telingaku. Aku menunggu.
                Kudengar jelas hentakan kaki kuda di telinga. Saat itu pula kurasa sebuah tangan menggapai lenganku. Mencengkeram pundak dengan keras. Menyeretku berlari kencang. Tubuhku terombang-ambing, terbentur-bentur. Perih,  ngilu. Aku meronta. Menggapai apa yang aku bisa. Memegang apa yang bisa kupegang. Tangan kananku menyerang membabi buta. Menyentuh yang bisa kusentuh. Aku merasa ranting yang kupegang mengenai sesuatu. Kudengar  sebuah keluh.
Keriuhan terdengar dimana-mana. Suara menjerit-jerit melengking di telingaku. Aku merasa keringat menetes di punggung ku.
“Fahri… jangan…”
“Hentikan Fahri… berhenti.”
“Tolong… tolong… tolong…”
“Fahri… brenti..”
“Dasar anak nggak tau diuntung.”
Aku seperti mengenal suara-suara itu. Dua pasang tangan mengunciku.
“Irfan… hati-hati… cutter ditangan.”
Aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Genggamanku kian erat.
“Fahri… sadar Fahri… sadar….”
Kucoba membuka mata. Silau. Kembali kudapati wajah wanita itu. Diantara kerumunan para siswa, dengan wajah-wajah yang penuh rasa ingin tahu.
Allohu Akbar… Allohu Akbar…
Sayup-sayup suara adzan berkumandang. Tangan kananku bergetar. Cutter kecil di tanganku terjatuh. Kupandangi wajah wanita yang ada  di hadapanku.  Tatapan matanya masih teduh. Sesak dadaku. Masih seperti dulu. Sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Warna merah melumuri seluruh lengannya. Pangkal lengannya menganga. Darah menetes-netes dari ujung jarinya. Aku luruh, di kaki wanita yang paling kubenci. Istri ayahku. 




Edukasi


Masa Mencoreng

Murmiyati Hadi Santoso

                “Ma… tulis-tulis…” kata seorang anak usia dua-tiga tahunan sambil mendekati ibunya.
                “Ya sayang… sebentar ya?” jawab sang ibu yang masih asyik mengiris-iris wortel.
                “Mama… tulis-tulis…” kata anak itu lagi.
                “Nanti ya? Mama selesaikan masak dulu…” sang ibu mencoba menenteramkan.
                “Mama… tulis-tulis…’’ sang anak mulai merengek.
                Mendengar anandanya merengek sang ibu mengambilkan spidol yang biasa digunakan anak untuk belajar menulis.
                “Ini…?” kata sang ibu, sambil menyerahkan spidol.
                Kemudian dia kembali melanjutkan kegiatannya. Mengiris wortel, menyiapkan masakan untuk makan siang. Dia merasa tenang karena si kecil tidak lagi mengganggu. Si kecil yang sudah memegang spidol merah dengan senang mencoba membuat goresan. Yang pertama dia lakukan di kursi makan. Menggores-menggores…
                “Mama… tulis-tulis…” si kecil melaporkan hasil karyanya pada ibunya.
                “Ya sayang…” jawab sang ibu tanpa menengok. Tangannya baru asyik mencuci sayuran.
                Si kecil melanjutkan kegiatannya, menggores dinding. Menggores dan menggores, tanpa bentuk. Asyik sekali dia menggores seperti mendapat kesenangan yang tidak habis-habisnya. Agak lama sang ibu tak memperdulikan apa yang dilakukan si kecil, sampai dia mengingatnya. Saat menengok dia masih melihat si kecil menuangkan idenya di tembok. Sang ibu terpekik.
                Wadow…. Jangan sayang…”
                Tapi semua sudah terlanjur, dinding ruang makan sudah penuh goresan dengan spidol merah.
                Mengapa hal itu bisa terjadi?
Kita yang memperkenalkan dan mengajarkan pada anak untuk memegang pena serta mencoba menggunakannya. Kita yang mengajarkan pada anak untuk menggambar. Memberi contoh, dan mengarahkan anak untuk dapat menggerakkan tangan dan jari-jarinya agar dapat menggambar dengan baik. Kita akan merasa senang sekali saat melihat anak mulai bisa memegang pena, bisa menggores. Walau goresan itu belum berbentuk, hanya sekedar goresan tanpa arti. Tetapi kita menghargai usahanya. Setelah anak itu suka memegang dan berlatih membuat goresan, kita kadang membunuh ekspresi mereka dengan memarahi karena membuat goresan di dinding ruang tamu yang baru saja di cat.
Memahami perkembangan anak, merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Karena sebenarnya tugas kitalah untuk mengamati hal itu. Dengan mengikuti perkembangan anak secara cermat, kita akan mengetahui kapan masa mencoreng pada anak dimulai. Sehingga kita bisa mengantisipasi mereka berekspresi di tembok, meja atau tempat yang lain yang tidak semestinya.
Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1970) dalam Creative and Mental Growth mengatakan bahwa tahap perkembangan seni rupa anak dibagi menjadi tiga periodisasi yaitu :  1) masa coreng moreng,2) masa prabagan dan 3) masa bagan. Kita akan focus pada satu masa, yaitu masa coreng moreng. 
                Masa coreng moreng adalah sebuah masa dimana anak merasa senang membuat goresan-goresan. Masa ini ketika anak berusia sekitar dua tahun atau bahkan sebelumny sesuai dengan perkembangan motoric tangan dan jarinya yang masih menggunakan motoric kasar.  Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat anak yang melubangi atau meluaki kertas yang dia gunakan untuk melukis. Atau menggambar.  Goresan-goresan yang dibuat oleh anak pada masa ini adalah goresan yang belum menampilkan suatu objek. Pada awalnya goresan ini dilakukan hanya karena mengikuti gerak motoric anak semata.
Pada tahap pertama ini anak hanya mampu menghasilkan goresan terbatas. Goresan dengan arah vertical atau horizontal. Hal ini berkaitan dengan kemampuan motoric anak yang masih menggunakan motoric kasar. Pada perkembangan berikutnya goresan sudah mampu menggoreskan dengan arah yang bervariasi, termasuk sudah mulai mampu membuat bentuk lingkaran.
Periode ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu : 1) corengan tak beraturan, 2) corengan terkendali dan 3) corengan bernama.
Pada tahap mencoreng tak beraturan, anak akan menggambar dengan cara sembarangan, hasil yang didapatpun belum jelas , karena kegiatan mencoreng ini walau disukai namun karena anak mencoba menggores tanpa melihat kertas atau papan yang disediakan. Maka anak belum bisa menggores bentuk lingkaran walaupun dia dengan semangat yang tinggi akan mencobanya.
Tahap  berikutnya yaitu tahap corengan terkendali. Pada tahap sudah tercipta adanya koordinasi dan kerjasama antara visual dan motoric. Hal ini terbukti dengan adanya pengulangan goresan, baik itu goresan vertical, horizontal ataupun bentuk lengkung.
Corengan bernama ada pada tahap terakhir. Hal ini ditandai dengan kemampuan anak untuk mengontrol goresannya. Pada tahap ini  anak sudah mulai berani memberi nama hasil goresannya, mobil, ayah, ayam, ikan dan yang lain. Anak mulai mengekspresikan idenya dengan goresan dan mencoba mengemukakan pendapatnya dengan memberi nama.
                Pada masa coreng moreng ini kita sering kuwalahan menghadapi anak. Mengapa? Karena pada masa ini anak akan sering berekspresi di sembarang tempat. Bahkan dinding yang baru saja selesai kita cat dengan cat barupun tak luput dari sasaran aksi anak. Mereka akan menunjukkan dengan rasa bangga hasil goresannya. Yang penting dia merasa senang karena mampu menemukan hal baru.
                Kegiatan membuat goresan inilah yang sering membuat kita marah dan menganggap anak sudah melakukan kesalahan. Sering terjadi kita melarang setelah melihat anak memberikan goresan   di dinding, di lemari, di meja atau justru di kertas-kertas dokumen penting tanpa sepengetahuan kita.  Anak menggores di tempat-tempat tersebut karena anak merasa senang mendapat tempat yang lapang, yang sesuai dengan keinginan untuk berekspresi.  Walaupun hal itu sering kita anggap sangat merugikan.
                Bagaimana cara mengantisipasi agar anak tak mencoreng di sembarang tempat?
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan membiasakan anak untuk menggores di kertas  yang kita sediakan. Pada saat anak ingin menggores, kita harus tanggap. Segera   menyiapkan kertas atau papan khusus agar anak nyaman berekspresi. Pada saat anak ingin menggores di tembok, kita berikan pengertian bahwa menggores sebaiknya di kertas atau di tempat yang sudah disediakan. Mungkin beberapa kali anak akan tetap berusaha untuk menggores di tembok, saat itulah tugas kita untuk mengalihkan perhatian dan meminta mereka menggores pada tempat yang sudah disediakan.
Kita juga bisa mengajarkan pada anak untuk menggores pada kertas atau kanvas. Siapkan waktu khusus untuk belajar bersama anak. Kita siapkan kertas dan pena. Berikan juga pada anak, kertas dan pena, lalu ajaklah mereka membuat goesan pada kertas tersebut seperti yang kita lakukan. Dengan sering mengajak anak menggambar bersama tentu akan tertanam dalam otak anak bahwa itulah cara menggores yang benar.
Melihat atau mengunjungi lomba lukis juga merupakan satu sarana untuk memperkenalkan anak pada kegiatan menggores atau melukis. Pada saat melihat atau mengunjungi lomba ini selain membuat hati anak senang, kita juga bisa  menunjukkan contoh dan penjelasan bagaimana seharusnya kita menggores atau melukis.

artikel ini dimuat pada Majalah Mentari edisi Mei 2016



edukasi



Melatih Anak Mengambil Keputusan

Oleh Murmiyati Hadi Santoso

Seorang ibu membawa anak usia lima tahun ke sebuah toko mainan. Setelah melihat kesana kemari, memperhatikan si anak berdiri terpana di depan salah satu etalase, sang ibu bertanya.
“Mainan mana yang hendak dipilih Nak?”
“Manut Mama aja.”
“Tadi katanya mau pilih robot?”
“Terserah Mama aja.”
“Mau yang ini? Atau yang itu? Yang ada dalam etalase?”
“Mama aja yang pilih. Terserah mama aja!”
“Lho, Mas harus belajar memilih dong. Nanti kalau mama yang pilih, kamu nggak suka?”
“Terserah Mama aja.”
Berulang kali si anak mengatakan semua terserah mama saja. Orang tua sudah mencoba memberikan tawaran, mengingatkan keinginan si anak untuk membeli robot. Namun karena banyak model dan jenis robot maka orang tua memberi kesempatan pada anak untuk memilih. Apa yang terjadi? Si anak tetap tak mau menjatuhkan pilihan, walau sebelumnya dia sudah melihat-lihat dan terpana melihat salah satu robot yang dipajang.
Bila keadaan sudah seperti ini,  sebenarnya sebuah masalah yang besar menghadang di depan kita. Ternyata anak kita tidak mampu memilih. Mengapa hal ini terjadi? Bisa jadi ini terjadi karena kesalahan kita. Karena kita tidak mengajarkan pada mereka bagaimana cara memilih, atau kita tidak pernah memberikan kesempatan pada mereka untuk memilih. Sering terjadi kita sebagai orang tua memberi kesempatan anak untuk memilih tetapi tawaran itu hanya semu, karena kita sudah mempunyai pilihan dan berusaha menggiring anak untuk memilih sesuai pilihan kita.
Dalam ilustrasi tadi digambarkan bagaimana seorang anak diajak oleh ibunya untuk membeli mainan. Anak ditawari untuk memilih, namun si anak menyerahkan semua pada sang ibu. Hal ini bisa terjadi salah satunya adalah karena sang ibu terlalu sering “mengarahkan” anak dalam memilih. Sebenarnya anak sudah memiliki pilihan sendiri. Bahkan pada beberepa anak sampai menangis untuk mempertahankan pilihannya. Orang tua menuruti kehendak anak untuk membeli mainan namun dengan syarat. Boleh membeli tapi tidak yang mahal-mahal. Boleh membeli tapi tidak boleh nakal. Boleh membeli tapi…. Terlalu banyak syarat, terlalu banyak tetapi yang harus diingat, maka hal yang wajar bila anak akhirnya menyerahkan semua keputusan pada orang tua. Sebuah pengalaman mengajarkan pada anak   bahwa membeli mainan adalah mainan yang diinginkan orang tua, bukan yang diinginkan anak. Bila hal ini sering terjadi dan berulang, maka baying-bayang suram ada di hadapan anak kita.
Hidup adalah pilihan. Banyak hal mengharuskan kita menjatuhkan pilihan yang tepat. Menjatuhkan pilihan tidak selalu pada hal-hal yang besar, bahkan hal yang kecilpun kita dituntut untuk memilih. Hal-hal kecil yang selalu dihadapkan pada kita untuk memilih diantaranya adalah memilih dua hal yang berbeda atau bertentangan. Duduk atau berdiri, mandi atau tidak, makan atau tidak makan, bangun pagi atau siang, membaca atau menonton televise, tidur atau begadang, dalam hal ini kita dituntut untuk memilih.  Belum lagi hal-hal yang lebih besar dan lebih kompleks. Memilih sekolah dimana, mau belajar apa, memilih kegiatan apa, mecari pekerjaan yang bagaimana, dan sebagainya. maka kemampuan memilih harus dilatihkan pada anak sejak dini.
Sikap anak mayoritas adalah duplikat orang tua. Sikap ini didapat dari pendidikan sehari-hari yang diterapkan oleh orang tua pada anak. Pada sebagian yang lain, anak menjadi peniru ulung. Meniru apapun yang dilakukan oleh orang tua. Karena orang tua sebagai teladan terdekat bagi anak. Anak yang terbiasa menyerahkan semua keputusan pada orang tua tentunya akan sangat berpengaruh pada saat anak tersebut dewasa nanti. Dalam pertumbuhan anak menuju remaja dan dewasa dituntut untuk memiliki kemampuan memilih. Baik itu untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.
Bagaimana mengatasi hal ini bila sudah terlanjur? Masihkan kita punya kesempatan untuk memperbaikinya? Semua tergantung pada usaha kita.
Sebuah pengalaman mengajarkan bahwa bila hal ini terjadi pada anak-anak kita, maka kita harus segera melakukan evaluasi diri dan mengubah sikap. Mengubah sikap anak bukan hal yang mudah, perlu waktu dan disiplin. Hal pertama yang harus dilakukan adalah kita harus berani memberi kesempatan sepenuhnya pada anak untuk memilih. Selain itu kita juga harus disiplin. Dalam arti kita harus tega tidak memberikan apapun pada anak pada saat mereka tidak menjatuhkan pilihan. Sebagai contoh yang mudah, kita menawarkan anak untuk makan sekarang atau nanti. Bila anak tidak menjatuhkan pilihan, kita harus berani tidak memberi makan walau melihatnya kelaparan. Dari pelajaran pertama ini sebenarnya kita memberi tahu anak bahwa dia harus belajar menjatuhkan pilihan. Pada kondisi seperti ini biasanya orang tua tidak tega dan lupa pada disiplin yang harus kita terapkan. Sikap tidak tega dan merasa kasihan untuk sementara harus kita singkirkan. Karena kita ingin memiliki anak yang terampil dalam mengambil keputusan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Mengajarkan anak untuk menjatuhkan pilihan perlu proses dan butuh waktu yang lama. Karena kita ingin anak kita tidak merasa kaget ketika kita meminta mereka untuk memilih. Kesabaran dan ketelatenan sangat dibutuhkan. Kita bisa mengajarkan anak menjatuhkan pilihan tidak dalam satu waktu. Juga usahakan mengajarkan anak memilih dalam suasana yang menyenangkan, rileks, dengan senda gurau, sehingga anak tidak merasa bila sedang dilatih untuk menjatuhkan pilihan. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengajarkan anak menjatuhkan pilihan. Melibatkan anak dalam mengambil keputusan, melakukan komunikasi intensif, mendampingi dalam bermain, mengajarkan untuk mengatur waktu, merupakan hal-hal yang bisa mendukung anak dalam menjatuhkan pilihan.





Naskah ini dimuat pada Majalah Mentari edisi April 2016

cerita pendek


PANGGIL AKU AYAH

Oleh : Murmiyati Hadi Santoso

                 
Wajah ovalnya seperti Sri, matanya milikku. Aku hanya bisa terpana melihatnya.
 “Tidak, kau bukan ayahku.” teriakannya keras membahana.
 “Dia ayahmu Nak.”
“Tidak....!!!”
“Na… sadar Na….”
“Tidak…, tidak…, aku tidak punya ayah.”
“Na, Nana…. lihat bapak Na.”
“Buka matamu Na, lihat bapak Na….”
“Tidak…. aku tidak punya ayah….”
Pupus sudah harapanku. Usaha Mas Han dan Mbak Harti tak berhasil. Nana hanya mau melihat Mas Han sebagai bapaknya, walau akulah ayah kandungnya. Harapan untuk dipanggil ayah oleh anak kandungku sendiri. Anak gadis yang seharusnya kunikahkan hari ini, tidak mengakuiku sebagai ayahnya.
Sejak awal sebenarnya aku memang sudah ragu untuk berangkat ke tempat ini. Tempat yang bagiku terlalu kelam. Tempat yang sangat ingin kuhapus dari sejarah hidupku sejak dulu.  sebuah tempat yang telah membuatku terpuruk dan hamper gila. Bukan hanya hamper gila, tetapi sudah membuatku gila. Hingga aku tak ingin lagi menengok ke belakang. Menghapus semua yang ada hubungannya denga Sri.
Seandainya Mas Han  tidak berkabar padaku, aku tak mungkin menginjakkan kaki kembali di sini. Hanya karena sebuah SMS singkat. NIKAHKANLAH ANAK GADISMU. Sebuah SMS yang seandainya kuabaikanpun tentu mereka semua akan mengerti. Ketika sebuah SMS datang tak kubalas, kemudian beruntun datang kembali SMS dengan bunyi yang sama.
Perasanku mulai resah. Di kantor aku mulai sering melamun (kata teman-teman yang satu ruangan). Banyak pekerjaan yang akhirnya tertunda. Bahkan yang paling nyata, aku menjadi semakin sensitive. Hanya karena hal yang sepele sudah bisa membuatku marah-marah tak menentu.
Aku jadi mulai dirundung rindu. Membayangkan seperti apakah anak gadisku ini. Apakah dia cantik manis seperti ibunya? Ataukah dia berkulit gelap dengan rahang tegas dan mata setajam elang sepertiku? Ataukah dia tumbuh menjadi gadis perpaduan antara diriku dengan Sri? Ada rasa segan pada kakakku untuk meminta foto anak gadisku. Apalagi aku hamper tak pernah merespon apapun berita tentang darah dagingku ini. Aku mencoba menutup masa laluku. Berleha-leha membayangkan wajah gadisku ini, seperti orang yang sedang jatuh cinta.
“Kerja Man…” suara Makmun mengingatkan.
“Heemm… “ jawabku masih sambil menyandarkan badan di punggung kursi dan kaki berselonjor di atas tumpukan kertas bekas.
“Kapan kau mau kirimkan berkas permohonan ini?”
“Nanti siang sajalah…” sahutku malas-malasan.
“Awas terlambat lagi lho.”
“Iya. Pasti kuantar. Tenang saja.”
“Kenapa sih Man, beberapa hari kau tak bergairah? Capek? Sakit?” Makmun mencoba menelisik.
“Tidak.”
“Lha terus, ngapain?”
“Aku  jatuh cinta.”
Haaaa….. suara mereka serempak. Semua kegiatan berhenti. Retno yang semula asyik dengan computer berhenti. Berdiri mendekatiku. Pelan-pelan menyentuh keningku.
“Bener Pakdhe?” tanyanya hati-hati penuh rasa ingin tahu.
Oo ya… mungkinkah gadisku seperti Retno? Tinggi semampai tapi berisi? Dengan kulit agak terang dan senyum yang cukup menawan? Kuperhatikan Retno lebih teliti. Yang kuperhatikan salah tingkah. Dibetulkannya kerudung yang tidak berubah sejak tadi pagi, masih rapih dan kelimis. Berulang diangkatnya kacamata berbingkai hitam yang dipakainya. Walau dia yakin bahwa kacamata itu tidak berpindah dari tempatnya bertengger, di hidungnya yang mancung. Kuperhatikan lebih jelas. Ah tidak. Gadisku tidak mungkin bertampang judes seperti Retno, Dia pasti lemah lembut seperti Sri, atau tegas sepertiku. Retno akhirnya beranjak kembali ke mejanya setelah tak mendapat jawaban apapun dariku.  
“Bener Man?” Bu Yan ikut-ikutan bertanya.
“Bener…”
“Ingat istri dan anakmu Man…”
“Aku ingat … tapi yang ini lain…”
“Kalau kamu jatuh cinta lagi, anak istrimu bagaimana? Mau dibuang begitu saja?”
“Aku kangen…”
“Uedaann…”
“Kangen banget… sumpah…”
“Man, sadar Man, anak-anakmu sudah besar semua. Kau mau mereka terluka kalau tahu tingkahmu?”
“Aku ingin lihat wajahnya…”
“Parman sudah gila.”
“Aku memang sudah gila.”
“Sadar kau Man, kalau sudah gila?”
“Aku ingin sekali melihatnya… seperti apa dia sekarang?”
“Siapa yang kau maksud Man?”
“Gadisku.”
“Gadis yang telah membuatmu jatuh cinta?”
“Cantikkah dia? Semampaikah dia?”
“Duduk Man. Jangan buat semua orang disini kebingungan mendengar omonganmu yang tidak jelas itu.”
“Aku kangen, bisakah kau tunjukkan wajahnya?”
“Man. Parman.”
“Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang ingin melupakannya. Aku yang telah mengabaikannya. Maafkan aku, maafkan akuuuu….”
Aku berteriak keras-keras, bergerak membabi  buta. Membuat semua penghuni ruangan terpana melihatnya. Kuhamburkan semua yang ada di meja. Suara gelas terbanting tak mengendorkan keinginanku melepaskan diri. Suara Retno, Bu Yan yang berteriak ketakutan memacu keinginanku untuk bergerak lebih beringas. Napasku ngos-ngosan, Ingin rasanya melepaskan beban yang menghimpit. Beban yang membuatku kesulitan untuk bernafas. Buukkk…. sebuah tempelengan menghampiri. Aku terhuyung. Makmun, Jati, Didin, mereka meringkusku.
Kurasakan elusan tangan Bu Yan di bahuku. Retno mengangsurkan aqua gelas.
“Sabar Man. Minuumlah dulu.”
Suara Bu Yan yang teduh, menenangkanku. kuteguk air di gelas yang diasungkan Retno. Rasa pusing bekas tempelengan masih terasa. Aku tak tahu siapa yang sudah melakukannya. Namun aku berterima kasih karenanya.
“Ada masalah bisa dibicarakan Man. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Kami hanya teman, tapi kami jugalah keluargamu. Kalau kau merasa tidak mampu bicara dengan keluargamu, tentu kami akan membantu. Tentu dengan cara yang tepat. Bukan dengan diam dan marah-marah tidak karuan.”
“Setiap masalah pasti ada pemecahannya. Begitu juga masalahmu.”
Aku terguguk mendengar kata-kata Bu Yan. Sebenarnya rasa bersalahlah yang paling kurasakan. Benar, aku yang salah selama ini. Akulah yang selalu berusaha menganggapnya tidak ada. Menganggap bahwa semua itu hanya mimpi buruk yang tak perlu diingat, apalagi diulang kembali. kucoba menguburkannya semuanya. Aku berharap dengan menikah kembali, membangun keluarga baru, maka semua itu akan terlupakan. Ternyata tidak. Di lubuk hati yang paling dalam, aku masih menyimpan mereka.
Ternyata kenangan itu tak pernah sirna dalam hidupku. Sekuat apapun aku mencoba menghindarinya. Masih lekat dalam ingatanku, betapa bahagianya aku menghadapi kelahiran buah cintaku bersama Sri. Gadis pujaanku sejak masih SMP, hingga aku lepas SMA dan bekerja. Sebagi bukti cinta, kamipun akhirnya menikah.
Pada bulan kedua pernikahan, Sri hamil. Kami sambut kehamilan itu dengan suka cita. Betapa aku sangat membatasi kegiatan Sri, karena aku ingin bayi mungil yang sehat. Sri adalah istri yang baik, penurut, maka dia lakukan apa yang kuminta. Akan tetapi, takdir berkata lain. Maut menjemput saat Sri melahirkan. Anakku selamat tapi Sri terlanjur pergi. Kutangisi Sri berhari-hari.
Rasa kehilangan yang amat sangat membuatku seperti orang gila. Hingga aku lupa bahwa aku masih memiliki seorang anak. Yang tak pernah sekalipun kulihat wajahnya. Bahkan sebuah namapun tak pernah kutinggalkan.  Aku melarikan diri dari kenyataan. Berlari sejauh mungkin dan tak pernah ingin kembali.
“Bercerita mungkin akan sedikit mengurangi bebanmu Man.”
Aku tak berselera untuk bercerita. Kuambil telepon genggam dari saku celana. Kubuka pesan dari Kakakku. Kuasungkan pada Bu Yan.
“Kubaca?” tanya Bu Yan menegaskan.
Aku mengangguk. Menunggu reaksi Bu Yan. Dahinya mengernyit, memandangiku penuh tanya.
“Gadismu?” kembali aku mengangguk.
“Kapan?”
“Minggu depan.”
“Istrimu tahu?” aku menggeleng.
“Pulanglah. Itu kuwajibanmu sebagai ayah. Beritahu istrimu baik-baik. Kau pasti bisa menjelaskannya. Kalau perlu bantuanku, kau bisa mengajakku untuk bicara dengan istrimu. Aku percaya, istrimu pasti bisa menerima dengan baik asal kau tak jatuh cinta untuk menikah lagi.”
Aku masih termangu-mangu hingga saat sitirahat siang tiba. Mereka bubar untuk mengisi perut masing-masing sebelum berkutat dengan pekerjaan berikutnya hingga sore hari.
Ndawukan, akhir September 2016



Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Mentari

cerita pendek


SP 3

Murmiyati Hadi Santoso

                Keringat dingin mulai menetes di punggungku. Aku mengingsut duduk. Memperbaiki posisi duduk agar lebih nyaman. Ingin rasanya mendongakkan kepala.  Menatap dua orang yang duduk di hadapanku dengan senyum yang biasa kusapakan kepada mereka. Sayang. Kepala ini terasa kian berat saja. Bahkan untuk sekedar melirik dengan sudut matapun aku tak mampu.
                “Sudah berapa lama kau lakukan ini Riz?”
                “Belum lama.”
Ah, aku menipu lagi.
                “Sejak kapan?” Tanya yang lainnya.
                “Aku lupa.”
Entahlah ini sudah kebohongan yang keberapa yang kulontarkan sejak pertemuan ini tadi.
                “Bagaimana kau melakukannya?”
                “Siapa yang memberitahu caranya?” suara yang lebih berat dan menekan terdengar.
                “Kau lakukan dengan siapa saja?”
Berbagai pertanyaan saling berebutan memenuhi telingaku. Saling mendahului. Kejar mengejar. Semua butuh jawaban. Dan aku tak tahu, mana yang harus kujawab terlebih dahulu. Akhirnya aku hanya terdiam. Membisu.
                “Kenapa gak jawab?”
                “Ayo jawab?” suara yang berat itu kembali terdengar.
Suara yang keluar justru dari tubuh yang kurus, wajahnya tirus. Kacamata tebal dengan bingkai hitam itu membuatnya kian dingin. Jarang sekali kulihat senyuman di bibirnya. Mungkin bibirnya terlalu mahal untuk sebuah senyuman. Garis bibir yang lurus. Beku. Kudengar irama jantungnya yang mencoba ditahan. Detaknya terdengar nyaring ditelingaku. Dalam hening ruang ber AC tanpa asap rokok. Ruang kedap suara.
Aku menarik nafas panjang. Mencoba melepaskan beban yang menghimpit. Membebani. Berat. Hanya sekedar untuk menarik nafas saja beratnya minta ampun. Kutautkan kedua telapak tanganku saling meremas hingga menimbulkan suara gemeletuk ruas-ruas jari yang saling beradu.
                “Aku mempelajarinya sendiri.” Sahutku pasrah.
                “Belajar darimana?”
                Browsing di internet.”
Tak mungkin aku mengorbankan semua temanku dalam tim ini hanya karena sebuah  pengakuan. Mungkin tidak semuanya terkena. Tapi beberapa orang pasti akan mengalami seperti yang kualami sekarang ini.
                “Tidak mungkin. Computer disini tidak semudah itu dibobol.”
                “Tunjukkan caranya sekarang.”
                “Aku harus mempelajarinya kembali, darimana aku mendapatkan caranya.  Aku butuh waktu untuk itu.” Aku mencoba mengulur waktu.
                “Kuberi waktu 48 jam dan kau harus menyampaikannya pada kami.”
                “Aku butuh waktu lebih lama.”
                “Waktumu hanya 48 jam. Kalau kau menemukannya dan menyampaikan pada kami maka kami hanya akan memberimu SP 2.”
Haaa… SP2.  Potong gaji dan bayar denda. Tapi itu riskan sekali. Tamatlah riwayatku. Aku bakal menjadi pengangguran kembali. Bisa jadi bakal berhari-hari puasa kembali seperti dulu. Hidup nebeng di kost teman, makan belum tentu sehari sekali. Apalagi pegang uang, itu hal yang sangat mewah. Maka walau dengan gaji yang sangat minim, kulakoni juga pekerjaan ini. Walau kadang sering dianggap tak layak. Bahkan hasil kerjaku dibanding tukang parker masih lebih tinggi tukang parker.
“Selain itu masih ada perjanjian yang harus kau tanda tangani. Tentu bila kau bisa melakukan maka kau masih bisa bebas melenggang dan bekerja disini.”
Nasibku diujung tanduk. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Apa yang masih bisa kuperbuat bila aku tertangkap basah melakukan pelanggaran? Pelanggaran yang merugikan perusahaan?
Pada awalnya aku masih menikmati. Bisa mengantongi uang tambahan hingga seratus ribu semalam. Hal itu mendatangkan sensasi tersendiri. Seperti memenangkan sebuah pertandingan. Apalagi itu uang jauh diatas gaji harian yang  kuterima. Bahkan beberapa teman tim kami merasa sangat bangga. Bahkan kecanduan untuk rajin bekerja dengan harapan mendapat tambahan lebih. Ternyata candu itu memabukkan. Melenakan. Benar-benar membuat kami terlena.
***
                AC di ruangan ini masih dingin. Sedingin perasaanku. Kesadaran untuk menerima sanksi bila itu memang harus terjadi. Jemariku masih mengutak-utik mouse. Mencoba mendata ulang situs-situs dimana bias kutemukan cara untuk mengelabui perusahaan. Kurinci semuanya. Aku harus bias menunjukkan pada manager apa yang telah dia minta dan kujanjikan kemarin lusa.
Tepat pukul 20.00. Suara derit pintu mengganggu konsentrasiku. Aku menengok. Dua orang yang kemarin menjadikanku pesakitan kembali dating. Seorang dengan tubuh jangkung, hitam dan berkacamata tebal. Seorang lagi berkulit lebih bersih. Wajahnya bulat dengan rambut cepak dan potongan tubuh yang tegap. Dia layak menjadi angkatan menurutku. Namun dia terdampar disini. Di sebuah warnet. Walau jabatannya adalah seoarang manager.
                “Sudah kau susun semuanya?” suara si gendut di sampingku. Kulihat si jangkung menuju meja tamu, meraih koran dan membuka halaman demi halaman.
                “Sudah.”
                “Bagus.” Dia mencoba mengamati hasil kerjaku.
                “Perlu print out? “ tanyaku basa-basi. Hanya agar tak sunyi saja.
                “Boleh.” Katanya sambil duduk dekat si jangkung dan membuka-buka berkas dari dalam tasnya.
                “Setelah nge print silakan tanda tangani ini.”
                “Apa ini?”
                “Perjanjian agar kau tidak kena SP 3.”
                “Aku harus membacanya terlebih dahulu sebelum tanda tangan.” Ada rasa curiga dalam hatiku bahwa mereka akan menjebakku.
                “Bacalah.”
                Aku meraih stopmap biru yang dia ulurkan. Tiga buah pejanjian yang tidak semuanya bias kulakukan. Perjanjian pertama untuk tidak melakukan pelanggaran lagi. Aku masih bisa menerima. Perjanjian kedua untuk tidak mengimbaskan ilmu yang kudapat pada teman lain aku juga masih bisa menerima. Tapi pada perjanjian ketiga. Menanggung semua pegawai baru untuk tdak meniru apa yang kulakukan? Itu mustahil. Mereka mungkin lebih pandai dari aku. Hanya saja mereka punya nyali untuk melakukan atau tidak. Dan itu suatu hal yang tak mungkin aku tanggung. Aku merasa terjebak. Dengan cara apapun mereka ingin menyingkirkanku.
                “Perjanjian nomor tiga aku tak bisa menandatanganinya.”
                “Kenapa?”
                “Kau takut?” aku benci sekali suara itu. Suara yang dingin dan berat. Suara yang menekan dan menghimpit.
                “Mereka manusia yang punya akal dan pikir. Jadi aku tak mungkin mengendalikan mereka.” Aku bersikukuh tak menandatangani perjanjian itu. Walaupun posisiku sangat riskan. Dulu aku juga pernah tak punya apa-apa. Belum tentu bisabisa makan tiap hari. Dan sampai sekarang nyatanya aku masih hidup.

***
                Teman-teman baikku masih menunggu di luar. Mereka memintaku untuk bergabung di warung angkring Lik Giyo langganan kami.  Mereka menunggu berita yang kubawa. Pelan aku menuruni tangga. Aku harus tetap bisa tersenyum. Aku masih ingat ketika mereka berebut keripik pisang kiriman ibuku dari kampong. Tawa yang renyai. Celoteh yang menggemaskan. masih adakah kesempatan buat tertawa bersama mereka?
Dua tahun ini aku merasa mendapat keluarga baru. Hidup bersama mereka, saling bertukar cerita. Berbagi duka. Kuni, gadis cerewet, bendahara kami. Gadis yang paling sering kuganggu hanya karena aku mau pinjam uang kas untuk membeli seliter bensin. Zahra yang pendiam tapi lebih terkesan cuek bebek. Mungkin kalau ada orang pingsanpun dia tak akan bereaksi selain customer. Fajar, anak muda yang selalu bangun kesiangan. Dating ke kantor dengan mata yang masih kriyip-kriyip. Dian sang pahlawan. Pemilik took busana yang ingin menjajal pekerjaan jadi OP warnet. Pak Kardi penguasa parker yang sering marah-marah hanya karena aku parker sembarangan. Pria setengah tua yang sebenarnya berhati lembut. Hanya karena sapaannya aku jadi jatuh cinta padanya. “Pakai mantel. Hujan. “ katanya suatu ketika.
Berat langkah kakiku. Berat melepas mereka dari hidupku. Lebih berat dari denda 5 juta yang harus kubayar. Walau aku belum tahu bagaimana caranya harus membayar denda sebesar itu. Jantungku berdentam-dentam. Terima atau tidak itulah yang terjadi. Resiko. Guru bahasa Indonesiaku di SMP pernah mengatakan, siapa menanam, mengetam. Sekarang aku baru mengetam, mengetam tanaman yang kutanam sendiri. Uppss. Karena berjalan sambil melamun, dua telundak kulewati tanpa sadar. Hamper aku terpelanting. Untung pegangan tangga masih kuat menerima beban tubuhku. Beberapa penghuni ruang-ruang warnet mendongak mendengar suaraku tertahan. Aku hanya tersenyum. Kecut.
Kuni yang melihatku segera mendekat dan menyeretku keluar. Menuju warung angkring di sisi kanan warnet. Beberapa teman menungguku tegang.
“Gimana Riz?” suara mereka hamper berbarengan. Wajah-wajah ingin tahu berusaha melihat langsung wajahku.
“Es Jeruk Lik.” Kataku pada Lik Giyo pedangang angkring langganan kami.
“Manis?” tanyanya.
“Harus Lik. Hidupnya sudah pahit masak minumnya pahit.” Aku berusaha melucu. Tapi leluconku hambar. Tak ada yang menyahut.
“Gimana Riz?” kali ini suara Zahra yang memelas.
Kutatap wajahnya. Sebuah senyum kulontarkan. Wajahnya jadi kian cemas.
“Gara-gara aku ya?” wajahnya memerah, hamper menangis.
“Salahku sendiri.” Sahutku menentramkan.
“Trus hasilnya piye?”
“Denda 5 juta.”
“Haaa…. Banyak banget?” sahut mereka serempak.
“Gimana kamu mau bayar itu Riz?”
“Dan SP 3”
“Haaaaa … “
“Ya, dipecat dengan tidak hormat dan harus membayar denda.” Kuminum tandas es jeruk dari Lik Giyo.
“Tolong bayari es ku.”
Aku ngeloyor pergi. Tanpa memperdulikan mereka yang terbengong-bengong melihat sikapku.
“Es nya gratis untukmu Riz.” Masih kudengar teriakan Lik Giyo yang memberiku gratisan.
Kudongakkan wajahku. Menghindarkan buliran panas jatuh dari sudut mata. Malam masih berbintang. Gumpalan awan menghiasi langit di sana sini. Seperti berjalan di bawa angin. Aku melangkah menuruti kaki. Kemana kaki mengarah aku tak perduli. Aku hanya ingin bernafas bebas dan lega. Ternyata dipecat tapi membuatku lebih bahagia. Ternyata Alloh masih saying padaku. Diperingatkan dengan caranya. Agar aku tak terjerumus lebih dalam. Angin dingin yang mengusap membuatku bisa berpikir lebih jernih. Kali ini aku jadi cengeng. Sangat rindu pada ibu. Ingin memeluknya. Tidur dipangkuannya. Sambil mendengar nasehatnya. Jangan lupakan sholat. Selalu berbuat jujur. Senantiasa berniat baik.
HP di kantong bergetar. Pesan WhatsApp masuk.
“Riz kami Cuma bisa patungan 200 an buat bantuin kamu. Besok silakan diambil. Dananya Kuni yang simpan.”
Dadaku  semakin sesak. Kusandarkan tubuhku di tiang listrik yang dingin. Kendaraan yang lalu lalang di depanku masih ramai. Ternyata aku tak hanya sendiri.

Soga 4
April 2015
Kado spesial buat Ragil Kuning


Cerpen ini pernah dimuat di majalah Mentari