Imung H. Santoso
setiap saat, setiap waktu, di saat-saat muncul ide-ide, keinginan untuk mengekspresikan ide tersebut senantiasa muncul. lalu tergeraklah jemari buat menuntaskan keinginan yang mendesak-desak. kadang kala hasrat itu membuat sesak nafas, melemahkan aliran darah dan hampir membuatku mati suri bila tak segera terlampiaskan. di tempat inilah aku bisa senantiasa mencurahkan segala keinginan untuk bisa tetap eksis dalam mencari jati diri.
Labels
- aku ingin (4)
- artikel (17)
- catatan harian (2)
- catatan perjalanan (12)
- cerita pendek (7)
- edukasi (2)
- flowers (2)
- karya tulis (1)
- karyaku (6)
- kesehatan (6)
- kumpulan puisi (2)
- mata lensa (15)
- novel (3)
- puisi (4)
- puisiku (8)
- resep masakan (4)
Sunday, March 22, 2020
Friday, October 4, 2019
Wajah Senja
Senja yang selalu hadir dengan wajah yang berbeda-beda. Lukisan alam ciptaan Yang Maha Kuasa. Senja sore ini, berbeda dengan senja sore lalu, atau senja yang akan hadir esok hari, atau lusa. Kehadirannya selalu tepat waktu, tak pernah lena. Wajahnya selalu sumringah dengan paduan warna jingga, kuning, merah. Walau ada kalanya senja hadir sedikit murah, karena wajahnya terhalang awan.
Thursday, October 3, 2019
Wednesday, March 7, 2018
cerita pendek
WANITA YANG PALING KUBENCI
Murmiyati
Hadi Santoso
“Ayo bangun… ini sudah di sekolah.”
Suara yang lembut itu menyentuh
gendang telingaku. Disertai tepukan di pundak kanan beberapa kali. Tepukan yang
lembut. Aku seperti dininabobokkan kembali. Tepukan itu berulang di punggung kiriku.
“Bangun Nak… ayoo bangun dulu…”
Kembali suara lembut itu
membisik di telinga. Kurasakan
pijatan yang lebih kuat di pundak kananku.
Sakit. Kutegakkan badan. Tawa cekikikan terdengar di sana-sini.
“Dasar tukang tidur.”
Mata ini berat untuk membuka. Kupaksa untuk melek. Sinar yang tertangkap membuat
mataku kriyip-kriyip.
“Cuci muka dulu Fahri.”
Sebuah perintah yang menyihir.
Seperti boneka, aku berjalan keluar menuju kamar kecil untuk cuci muka berlama-lama. Kelopak mata ini seperti ada pemberatnya.
Kembali masuk ke ruang kelas. Kembali
pada kegiatan semula. Belajar bahasa.
Suaranya yang merdu itu kian sayup. Mata ini tak mau diajak kompromi. Melekat erat. Maklum,
semalam aku pulang jam tiga dini hari. Karena kami, aku, Irvan dan Evan baru
saja uji nyali, semalaman di petilasan Raden Rangga yang menurut berita sangat
angker.
“Bangun Nak, masih pagi.” Sebuah tepukan di pundak mengganggu nyenyakku.
“Ayo Nak, bangun dulu.” Suara lembut itu kembali terdengar.
Aku merasa kaki kananku pegal sekali. Kucoba luruskan, menyentuh kaki
meja dan menimbulkan bunyi. Aku menggeliat.
“Bangun… bangun… sudah siang…”
Suara-suara yang memintaku bangun bersahutan.
“He bangun, mau sekolah apa tidur sih?”
“Kalau Cuma tidur pulang aja!” suara cempreng itu kembali terdengar.
“Bangun Nak….”
Suaranya kembali terdengar. Tangannya memijit pundak kananku. Kuenyahkan
tangannya dengan gerakan kasar.
Kucoba buka mataku. Semua siswa memandangku dengan berjuta tatapan mata,
menuduh. Seorang wanita bertubuh tinggi semampai berkaca mata memandangku
dengan senyuman. Benci rasanya aku melihatnya. Dibalik tatapannya itu, aku
melihat seringai serigala.
“Aku nggak suka ditegur berulang-ulang.” Teriakku.
“Kamu marah Nak?”
Pertanyaan yang sinis. Aku menatapnya garang. Dia tetap dengan
senyumannya.
“Baiklah, Ibu tak akan menegurmu lagi.”
Kelas jadi sunyi. Wanita itu menatap semua siswa. Satu per satu. Seperti
ingin mendalami isi hati mereka semua. Kulihat siswa lain menatapku janggal.
Hening.
“Mari kita lanjutkan pembahasan ya Nak.”
Keheningan itu terkoyak oleh suaranya yang lembut namun penuh wibawa.
Senyumnya tetap menghias bibirnya yang tipis. Aku merasa senyuman itu seperti
mengejekku, melecehkanku. Tak sekalipun dia menatapku kembali. Melirikpun
tidak.
Wanita itu kembali mengutak utik
mouse. Semua menatap layar, tayangan itu
menyilaukanku. Silau… ya sangat silau.
Kupejamkan kembali mataku. Masih terasa sinar dari layar menembus kelopak mata.
Sinar itu membentuk bayang-bayang. Sebuah siluet, yang semakin lama
semakin jelas. Seekor kuda yang gagah
berwarna coklat kehitaman, berlari kencang kearahku. Berlari kencang, meninggalkan
debu-debu menggulung di belakangnya. Aku mencoba menyisih dari lintasan. Kakiku
berat untuk melangkah. Seluruh tenagaku
hilang lenyap. Aku terpuruk. Lari kuda itu semakin dekat. Kulihat jelas bentuk
kaki yang kokoh, paha yang kuat, saling berebut melangkah. Debu
bergulung-gulung. Telapak kaki kuda itu serasa hendak menyentuh wajah. Kutekuk
wajahku, menunggu kaki kuda itu melintas di mukaku, menginjak keras tubuhku
yang tanda daya. Tengkukku dingin. Tak ada suara lain yang terdengar. Kututup
mataku. Kututup telingaku. Aku menunggu.
Kudengar jelas hentakan kaki
kuda di telinga. Saat itu pula kurasa sebuah tangan menggapai lenganku.
Mencengkeram pundak dengan keras. Menyeretku berlari kencang. Tubuhku
terombang-ambing, terbentur-bentur. Perih,
ngilu. Aku meronta. Menggapai apa yang aku bisa. Memegang apa yang bisa
kupegang. Tangan kananku menyerang membabi buta. Menyentuh yang bisa kusentuh.
Aku merasa ranting yang kupegang mengenai sesuatu. Kudengar sebuah keluh.
Keriuhan terdengar dimana-mana. Suara menjerit-jerit melengking di
telingaku. Aku merasa keringat menetes di punggung ku.
“Fahri… jangan…”
“Hentikan Fahri… berhenti.”
“Tolong… tolong… tolong…”
“Fahri… brenti..”
“Dasar anak nggak tau diuntung.”
Aku seperti mengenal suara-suara itu. Dua pasang tangan mengunciku.
“Irfan… hati-hati… cutter ditangan.”
Aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Genggamanku kian erat.
“Fahri… sadar Fahri… sadar….”
Kucoba membuka mata. Silau. Kembali kudapati wajah wanita itu. Diantara
kerumunan para siswa, dengan wajah-wajah yang penuh rasa ingin tahu.
Allohu Akbar… Allohu Akbar…
Sayup-sayup suara adzan berkumandang. Tangan kananku bergetar. Cutter
kecil di tanganku terjatuh. Kupandangi wajah wanita yang ada di hadapanku. Tatapan matanya masih teduh. Sesak dadaku. Masih
seperti dulu. Sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Warna merah
melumuri seluruh lengannya. Pangkal lengannya menganga. Darah menetes-netes
dari ujung jarinya. Aku luruh, di kaki wanita yang paling kubenci. Istri
ayahku.
Edukasi
Masa Mencoreng
Murmiyati Hadi Santoso
“Ma… tulis-tulis…” kata seorang
anak usia dua-tiga tahunan sambil mendekati ibunya.
“Ya sayang… sebentar ya?” jawab
sang ibu yang masih asyik mengiris-iris wortel.
“Mama… tulis-tulis…” kata anak
itu lagi.
“Nanti ya? Mama selesaikan masak
dulu…” sang ibu mencoba menenteramkan.
“Mama… tulis-tulis…’’ sang anak
mulai merengek.
Mendengar anandanya merengek
sang ibu mengambilkan spidol yang biasa digunakan anak untuk belajar menulis.
“Ini…?” kata sang ibu, sambil
menyerahkan spidol.
Kemudian dia kembali melanjutkan
kegiatannya. Mengiris wortel, menyiapkan masakan untuk makan siang. Dia merasa
tenang karena si kecil tidak lagi mengganggu. Si kecil yang sudah memegang
spidol merah dengan senang mencoba membuat goresan. Yang pertama dia lakukan di
kursi makan. Menggores-menggores…
“Mama… tulis-tulis…” si kecil
melaporkan hasil karyanya pada ibunya.
“Ya sayang…” jawab sang ibu
tanpa menengok. Tangannya baru asyik mencuci sayuran.
Si kecil melanjutkan
kegiatannya, menggores dinding. Menggores dan menggores, tanpa bentuk. Asyik
sekali dia menggores seperti mendapat kesenangan yang tidak habis-habisnya.
Agak lama sang ibu tak memperdulikan apa yang dilakukan si kecil, sampai dia
mengingatnya. Saat menengok dia masih melihat si kecil menuangkan idenya di
tembok. Sang ibu terpekik.
“Wadow…. Jangan sayang…”
Tapi semua sudah terlanjur,
dinding ruang makan sudah penuh goresan dengan spidol merah.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Kita
yang memperkenalkan dan mengajarkan pada anak untuk memegang pena serta mencoba
menggunakannya. Kita yang mengajarkan pada anak untuk menggambar. Memberi
contoh, dan mengarahkan anak untuk dapat menggerakkan tangan dan jari-jarinya
agar dapat menggambar dengan baik. Kita akan merasa senang sekali saat melihat
anak mulai bisa memegang pena, bisa menggores. Walau goresan itu belum
berbentuk, hanya sekedar goresan tanpa arti. Tetapi kita menghargai usahanya.
Setelah anak itu suka memegang dan berlatih membuat goresan, kita kadang
membunuh ekspresi mereka dengan memarahi karena membuat goresan di dinding
ruang tamu yang baru saja di cat.
Memahami
perkembangan anak, merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Karena
sebenarnya tugas kitalah untuk mengamati hal itu. Dengan mengikuti perkembangan
anak secara cermat, kita akan mengetahui kapan masa mencoreng pada anak
dimulai. Sehingga kita bisa mengantisipasi mereka berekspresi di tembok, meja
atau tempat yang lain yang tidak semestinya.
Viktor
Lowenfeld dan Lambert Brittain (1970) dalam Creative and Mental Growth mengatakan
bahwa tahap perkembangan seni rupa anak dibagi menjadi tiga periodisasi yaitu
: 1) masa coreng moreng,2) masa prabagan
dan 3) masa bagan. Kita akan focus pada satu masa, yaitu masa coreng
moreng.
Masa
coreng moreng adalah sebuah masa dimana anak merasa senang membuat
goresan-goresan. Masa ini ketika anak berusia sekitar dua tahun atau bahkan
sebelumny sesuai dengan perkembangan motoric tangan dan jarinya yang masih
menggunakan motoric kasar. Hal ini dapat
kita buktikan dengan melihat anak yang melubangi atau meluaki kertas yang dia
gunakan untuk melukis. Atau menggambar. Goresan-goresan
yang dibuat oleh anak pada masa ini adalah goresan yang belum menampilkan suatu
objek. Pada awalnya goresan ini dilakukan hanya karena mengikuti gerak motoric
anak semata.
Pada
tahap pertama ini anak hanya mampu menghasilkan goresan terbatas. Goresan
dengan arah vertical atau horizontal. Hal ini berkaitan dengan kemampuan
motoric anak yang masih menggunakan motoric kasar. Pada perkembangan berikutnya
goresan sudah mampu menggoreskan dengan arah yang bervariasi, termasuk sudah
mulai mampu membuat bentuk lingkaran.
Periode
ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu : 1) corengan tak beraturan, 2) corengan
terkendali dan 3) corengan bernama.
Pada
tahap mencoreng tak beraturan, anak akan menggambar dengan cara sembarangan,
hasil yang didapatpun belum jelas , karena kegiatan mencoreng ini walau disukai
namun karena anak mencoba menggores tanpa melihat kertas atau papan yang
disediakan. Maka anak belum bisa menggores bentuk lingkaran walaupun dia dengan
semangat yang tinggi akan mencobanya.
Tahap
berikutnya yaitu tahap corengan
terkendali. Pada tahap sudah tercipta adanya koordinasi dan kerjasama antara
visual dan motoric. Hal ini terbukti dengan adanya pengulangan goresan, baik
itu goresan vertical, horizontal ataupun bentuk lengkung.
Corengan
bernama ada pada tahap terakhir. Hal ini ditandai dengan kemampuan anak untuk
mengontrol goresannya. Pada tahap ini
anak sudah mulai berani memberi nama hasil goresannya, mobil, ayah,
ayam, ikan dan yang lain. Anak mulai mengekspresikan idenya dengan goresan dan
mencoba mengemukakan pendapatnya dengan memberi nama.
Pada masa coreng moreng ini kita
sering kuwalahan menghadapi anak. Mengapa? Karena pada masa ini anak akan
sering berekspresi di sembarang tempat. Bahkan dinding yang baru saja selesai
kita cat dengan cat barupun tak luput dari sasaran aksi anak. Mereka akan
menunjukkan dengan rasa bangga hasil goresannya. Yang penting dia merasa senang
karena mampu menemukan hal baru.
Kegiatan membuat goresan inilah
yang sering membuat kita marah dan menganggap anak sudah melakukan kesalahan.
Sering terjadi kita melarang setelah melihat anak memberikan goresan di dinding, di lemari, di meja atau justru
di kertas-kertas dokumen penting tanpa sepengetahuan kita. Anak menggores di tempat-tempat tersebut
karena anak merasa senang mendapat tempat yang lapang, yang sesuai dengan
keinginan untuk berekspresi. Walaupun
hal itu sering kita anggap sangat merugikan.
Bagaimana cara mengantisipasi
agar anak tak mencoreng di sembarang tempat?
Salah
satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan membiasakan anak untuk menggores di
kertas yang kita sediakan. Pada saat
anak ingin menggores, kita harus tanggap. Segera menyiapkan kertas atau papan khusus agar
anak nyaman berekspresi. Pada saat anak ingin menggores di tembok, kita berikan
pengertian bahwa menggores sebaiknya di kertas atau di tempat yang sudah
disediakan. Mungkin beberapa kali anak akan tetap berusaha untuk menggores di
tembok, saat itulah tugas kita untuk mengalihkan perhatian dan meminta mereka
menggores pada tempat yang sudah disediakan.
Kita
juga bisa mengajarkan pada anak untuk menggores pada kertas atau kanvas.
Siapkan waktu khusus untuk belajar bersama anak. Kita siapkan kertas dan pena.
Berikan juga pada anak, kertas dan pena, lalu ajaklah mereka membuat goesan
pada kertas tersebut seperti yang kita lakukan. Dengan sering mengajak anak
menggambar bersama tentu akan tertanam dalam otak anak bahwa itulah cara
menggores yang benar.
Melihat
atau mengunjungi lomba lukis juga merupakan satu sarana untuk memperkenalkan
anak pada kegiatan menggores atau melukis. Pada saat melihat atau mengunjungi
lomba ini selain membuat hati anak senang, kita juga bisa menunjukkan contoh dan penjelasan bagaimana
seharusnya kita menggores atau melukis.
artikel ini dimuat pada Majalah Mentari edisi Mei 2016
edukasi
Melatih Anak
Mengambil Keputusan
Oleh Murmiyati
Hadi Santoso
Seorang ibu
membawa anak usia lima tahun ke sebuah toko mainan. Setelah melihat kesana
kemari, memperhatikan si anak berdiri terpana di depan salah satu etalase, sang
ibu bertanya.
“Mainan mana
yang hendak dipilih Nak?”
“Manut Mama
aja.”
“Tadi katanya
mau pilih robot?”
“Terserah Mama
aja.”
“Mau yang ini?
Atau yang itu? Yang ada dalam etalase?”
“Mama aja yang
pilih. Terserah mama aja!”
“Lho, Mas harus
belajar memilih dong. Nanti kalau mama yang pilih, kamu nggak suka?”
“Terserah Mama
aja.”
Berulang
kali si anak mengatakan semua terserah mama saja. Orang tua sudah mencoba
memberikan tawaran, mengingatkan keinginan si anak untuk membeli robot. Namun
karena banyak model dan jenis robot maka orang tua memberi kesempatan pada anak
untuk memilih. Apa yang terjadi? Si anak tetap tak mau menjatuhkan pilihan,
walau sebelumnya dia sudah melihat-lihat dan terpana melihat salah satu robot
yang dipajang.
Bila
keadaan sudah seperti ini, sebenarnya
sebuah masalah yang besar menghadang di depan kita. Ternyata anak kita tidak
mampu memilih. Mengapa hal ini terjadi? Bisa jadi ini terjadi karena kesalahan
kita. Karena kita tidak mengajarkan pada mereka bagaimana cara memilih, atau
kita tidak pernah memberikan kesempatan pada mereka untuk memilih. Sering
terjadi kita sebagai orang tua memberi kesempatan anak untuk memilih tetapi
tawaran itu hanya semu, karena kita sudah mempunyai pilihan dan berusaha
menggiring anak untuk memilih sesuai pilihan kita.
Dalam
ilustrasi tadi digambarkan bagaimana seorang anak diajak oleh ibunya untuk
membeli mainan. Anak ditawari untuk memilih, namun si anak menyerahkan semua
pada sang ibu. Hal ini bisa terjadi salah satunya adalah karena sang ibu
terlalu sering “mengarahkan” anak dalam memilih. Sebenarnya anak sudah memiliki
pilihan sendiri. Bahkan pada beberepa anak sampai menangis untuk mempertahankan
pilihannya. Orang tua menuruti kehendak anak untuk membeli mainan namun dengan
syarat. Boleh membeli tapi tidak yang mahal-mahal. Boleh membeli tapi tidak
boleh nakal. Boleh membeli tapi…. Terlalu banyak syarat, terlalu banyak tetapi
yang harus diingat, maka hal yang wajar bila anak akhirnya menyerahkan semua
keputusan pada orang tua. Sebuah pengalaman mengajarkan pada anak bahwa membeli mainan adalah mainan yang
diinginkan orang tua, bukan yang diinginkan anak. Bila hal ini sering terjadi
dan berulang, maka baying-bayang suram ada di hadapan anak kita.
Hidup
adalah pilihan. Banyak hal mengharuskan kita menjatuhkan pilihan yang tepat.
Menjatuhkan pilihan tidak selalu pada hal-hal yang besar, bahkan hal yang
kecilpun kita dituntut untuk memilih. Hal-hal kecil yang selalu dihadapkan pada
kita untuk memilih diantaranya adalah memilih dua hal yang berbeda atau
bertentangan. Duduk atau berdiri, mandi atau tidak, makan atau tidak makan,
bangun pagi atau siang, membaca atau menonton televise, tidur atau begadang,
dalam hal ini kita dituntut untuk memilih.
Belum lagi hal-hal yang lebih besar dan lebih kompleks. Memilih sekolah
dimana, mau belajar apa, memilih kegiatan apa, mecari pekerjaan yang bagaimana,
dan sebagainya. maka kemampuan memilih harus dilatihkan pada anak sejak dini.
Sikap
anak mayoritas adalah duplikat orang tua. Sikap ini didapat dari pendidikan
sehari-hari yang diterapkan oleh orang tua pada anak. Pada sebagian yang lain,
anak menjadi peniru ulung. Meniru apapun yang dilakukan oleh orang tua. Karena
orang tua sebagai teladan terdekat bagi anak. Anak yang terbiasa menyerahkan
semua keputusan pada orang tua tentunya akan sangat berpengaruh pada saat anak
tersebut dewasa nanti. Dalam pertumbuhan anak menuju remaja dan dewasa dituntut
untuk memiliki kemampuan memilih. Baik itu untuk dirinya sendiri atau untuk
orang lain.
Bagaimana
mengatasi hal ini bila sudah terlanjur? Masihkan kita punya kesempatan untuk
memperbaikinya? Semua tergantung pada usaha kita.
Sebuah
pengalaman mengajarkan bahwa bila hal ini terjadi pada anak-anak kita, maka
kita harus segera melakukan evaluasi diri dan mengubah sikap. Mengubah sikap
anak bukan hal yang mudah, perlu waktu dan disiplin. Hal pertama yang harus
dilakukan adalah kita harus berani memberi kesempatan sepenuhnya pada anak
untuk memilih. Selain itu kita juga harus disiplin. Dalam arti kita harus tega
tidak memberikan apapun pada anak pada saat mereka tidak menjatuhkan pilihan.
Sebagai contoh yang mudah, kita menawarkan anak untuk makan sekarang atau
nanti. Bila anak tidak menjatuhkan pilihan, kita harus berani tidak memberi
makan walau melihatnya kelaparan. Dari pelajaran pertama ini sebenarnya kita
memberi tahu anak bahwa dia harus belajar menjatuhkan pilihan. Pada kondisi
seperti ini biasanya orang tua tidak tega dan lupa pada disiplin yang harus
kita terapkan. Sikap tidak tega dan merasa kasihan untuk sementara harus kita
singkirkan. Karena kita ingin memiliki anak yang terampil dalam mengambil
keputusan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Mengajarkan
anak untuk menjatuhkan pilihan perlu proses dan butuh waktu yang lama. Karena
kita ingin anak kita tidak merasa kaget ketika kita meminta mereka untuk
memilih. Kesabaran dan ketelatenan sangat dibutuhkan. Kita bisa mengajarkan
anak menjatuhkan pilihan tidak dalam satu waktu. Juga usahakan mengajarkan anak
memilih dalam suasana yang menyenangkan, rileks, dengan senda gurau, sehingga
anak tidak merasa bila sedang dilatih untuk menjatuhkan pilihan. Banyak hal
yang bisa kita lakukan untuk mengajarkan anak menjatuhkan pilihan. Melibatkan
anak dalam mengambil keputusan, melakukan komunikasi intensif, mendampingi
dalam bermain, mengajarkan untuk mengatur waktu, merupakan hal-hal yang bisa
mendukung anak dalam menjatuhkan pilihan.
Subscribe to:
Posts (Atom)