Sunday, March 22, 2020

Friday, October 4, 2019

Yang Biru yang Ditunggu





Melihat senja, 
seperti melihat dunia. 
Terbang mengawang-awang
menatap semua yang terpandang

mencari sudut yang paling nyaman
untuk mengembangkan yang bisa dikenang
duduk di sudut-sudut
menelengkan pandangan
mencari titik paling tepat
untuk membidik
yang bisa jadi kenangan

Wajah Senja






Senja yang selalu hadir dengan wajah yang berbeda-beda. Lukisan alam ciptaan Yang Maha Kuasa. Senja sore ini, berbeda dengan senja sore lalu, atau senja yang akan hadir esok hari, atau lusa. Kehadirannya selalu tepat waktu, tak pernah lena. Wajahnya selalu sumringah dengan paduan warna jingga, kuning, merah. Walau ada kalanya senja hadir sedikit murah, karena wajahnya terhalang awan.

Thursday, October 3, 2019

Wednesday, March 7, 2018

cerita pendek


WANITA YANG PALING KUBENCI
Murmiyati Hadi Santoso

“Ayo bangun… ini sudah di sekolah.”
                Suara yang lembut itu menyentuh gendang telingaku. Disertai tepukan di pundak kanan beberapa kali. Tepukan yang lembut. Aku seperti dininabobokkan kembali. Tepukan itu berulang di punggung kiriku.
                “Bangun Nak… ayoo bangun dulu…”
                Kembali suara lembut itu membisik di telinga.  Kurasakan pijatan  yang lebih kuat di pundak kananku. Sakit. Kutegakkan badan. Tawa cekikikan terdengar di sana-sini.
                “Dasar tukang tidur.”
                 Mata ini berat untuk membuka. Kupaksa untuk melek. Sinar yang tertangkap membuat mataku kriyip-kriyip.
                “Cuci muka dulu Fahri.”
 Sebuah perintah yang menyihir. Seperti boneka, aku berjalan keluar menuju kamar kecil untuk cuci muka  berlama-lama.  Kelopak mata ini seperti ada pemberatnya. Kembali masuk ke ruang kelas.  Kembali pada kegiatan semula. Belajar bahasa.
Suaranya yang merdu itu kian sayup. Mata ini tak mau  diajak kompromi. Melekat erat. Maklum, semalam aku pulang jam tiga dini hari. Karena kami, aku, Irvan dan Evan baru saja uji nyali, semalaman di petilasan Raden Rangga yang menurut berita sangat angker.   
“Bangun Nak, masih pagi.” Sebuah tepukan di pundak mengganggu nyenyakku.
“Ayo Nak, bangun dulu.” Suara lembut itu kembali terdengar.
Aku merasa kaki kananku pegal sekali. Kucoba luruskan, menyentuh kaki meja dan menimbulkan bunyi. Aku menggeliat.
“Bangun… bangun… sudah siang…”
Suara-suara yang memintaku bangun bersahutan.
“He bangun, mau sekolah apa tidur sih?”
“Kalau Cuma tidur pulang aja!” suara cempreng itu kembali terdengar.
“Bangun Nak….”
Suaranya kembali terdengar. Tangannya memijit pundak kananku. Kuenyahkan tangannya dengan gerakan kasar.
Kucoba buka mataku. Semua siswa memandangku dengan berjuta tatapan mata, menuduh. Seorang wanita bertubuh tinggi semampai berkaca mata memandangku dengan senyuman. Benci rasanya aku melihatnya. Dibalik tatapannya itu, aku melihat seringai serigala.
“Aku nggak suka ditegur berulang-ulang.” Teriakku.
“Kamu marah Nak?”
Pertanyaan yang sinis. Aku menatapnya garang. Dia tetap dengan senyumannya.
“Baiklah, Ibu tak akan menegurmu lagi.”
Kelas jadi sunyi. Wanita itu menatap semua siswa. Satu per satu. Seperti ingin mendalami isi hati mereka semua. Kulihat siswa lain menatapku janggal. Hening.
“Mari kita lanjutkan pembahasan ya Nak.”
Keheningan itu terkoyak oleh suaranya yang lembut namun penuh wibawa. Senyumnya tetap menghias bibirnya yang tipis. Aku merasa senyuman itu seperti mengejekku, melecehkanku. Tak sekalipun dia menatapku kembali. Melirikpun tidak.
 Wanita itu kembali mengutak utik mouse. Semua menatap layar, tayangan  itu menyilaukanku.  Silau… ya sangat silau. Kupejamkan kembali mataku. Masih terasa sinar dari layar menembus kelopak mata.
Sinar itu membentuk bayang-bayang. Sebuah siluet, yang semakin lama semakin jelas.  Seekor kuda yang gagah berwarna coklat kehitaman, berlari kencang kearahku. Berlari kencang, meninggalkan debu-debu menggulung di belakangnya. Aku mencoba menyisih dari lintasan. Kakiku berat untuk melangkah.  Seluruh tenagaku hilang lenyap. Aku terpuruk. Lari kuda itu semakin dekat. Kulihat jelas bentuk kaki yang kokoh, paha yang kuat, saling berebut melangkah. Debu bergulung-gulung. Telapak kaki kuda itu serasa hendak menyentuh wajah. Kutekuk wajahku, menunggu kaki kuda itu melintas di mukaku, menginjak keras tubuhku yang tanda daya. Tengkukku dingin. Tak ada suara lain yang terdengar. Kututup mataku. Kututup  telingaku. Aku menunggu.
                Kudengar jelas hentakan kaki kuda di telinga. Saat itu pula kurasa sebuah tangan menggapai lenganku. Mencengkeram pundak dengan keras. Menyeretku berlari kencang. Tubuhku terombang-ambing, terbentur-bentur. Perih,  ngilu. Aku meronta. Menggapai apa yang aku bisa. Memegang apa yang bisa kupegang. Tangan kananku menyerang membabi buta. Menyentuh yang bisa kusentuh. Aku merasa ranting yang kupegang mengenai sesuatu. Kudengar  sebuah keluh.
Keriuhan terdengar dimana-mana. Suara menjerit-jerit melengking di telingaku. Aku merasa keringat menetes di punggung ku.
“Fahri… jangan…”
“Hentikan Fahri… berhenti.”
“Tolong… tolong… tolong…”
“Fahri… brenti..”
“Dasar anak nggak tau diuntung.”
Aku seperti mengenal suara-suara itu. Dua pasang tangan mengunciku.
“Irfan… hati-hati… cutter ditangan.”
Aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Genggamanku kian erat.
“Fahri… sadar Fahri… sadar….”
Kucoba membuka mata. Silau. Kembali kudapati wajah wanita itu. Diantara kerumunan para siswa, dengan wajah-wajah yang penuh rasa ingin tahu.
Allohu Akbar… Allohu Akbar…
Sayup-sayup suara adzan berkumandang. Tangan kananku bergetar. Cutter kecil di tanganku terjatuh. Kupandangi wajah wanita yang ada  di hadapanku.  Tatapan matanya masih teduh. Sesak dadaku. Masih seperti dulu. Sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Warna merah melumuri seluruh lengannya. Pangkal lengannya menganga. Darah menetes-netes dari ujung jarinya. Aku luruh, di kaki wanita yang paling kubenci. Istri ayahku. 




Edukasi


Masa Mencoreng

Murmiyati Hadi Santoso

                “Ma… tulis-tulis…” kata seorang anak usia dua-tiga tahunan sambil mendekati ibunya.
                “Ya sayang… sebentar ya?” jawab sang ibu yang masih asyik mengiris-iris wortel.
                “Mama… tulis-tulis…” kata anak itu lagi.
                “Nanti ya? Mama selesaikan masak dulu…” sang ibu mencoba menenteramkan.
                “Mama… tulis-tulis…’’ sang anak mulai merengek.
                Mendengar anandanya merengek sang ibu mengambilkan spidol yang biasa digunakan anak untuk belajar menulis.
                “Ini…?” kata sang ibu, sambil menyerahkan spidol.
                Kemudian dia kembali melanjutkan kegiatannya. Mengiris wortel, menyiapkan masakan untuk makan siang. Dia merasa tenang karena si kecil tidak lagi mengganggu. Si kecil yang sudah memegang spidol merah dengan senang mencoba membuat goresan. Yang pertama dia lakukan di kursi makan. Menggores-menggores…
                “Mama… tulis-tulis…” si kecil melaporkan hasil karyanya pada ibunya.
                “Ya sayang…” jawab sang ibu tanpa menengok. Tangannya baru asyik mencuci sayuran.
                Si kecil melanjutkan kegiatannya, menggores dinding. Menggores dan menggores, tanpa bentuk. Asyik sekali dia menggores seperti mendapat kesenangan yang tidak habis-habisnya. Agak lama sang ibu tak memperdulikan apa yang dilakukan si kecil, sampai dia mengingatnya. Saat menengok dia masih melihat si kecil menuangkan idenya di tembok. Sang ibu terpekik.
                Wadow…. Jangan sayang…”
                Tapi semua sudah terlanjur, dinding ruang makan sudah penuh goresan dengan spidol merah.
                Mengapa hal itu bisa terjadi?
Kita yang memperkenalkan dan mengajarkan pada anak untuk memegang pena serta mencoba menggunakannya. Kita yang mengajarkan pada anak untuk menggambar. Memberi contoh, dan mengarahkan anak untuk dapat menggerakkan tangan dan jari-jarinya agar dapat menggambar dengan baik. Kita akan merasa senang sekali saat melihat anak mulai bisa memegang pena, bisa menggores. Walau goresan itu belum berbentuk, hanya sekedar goresan tanpa arti. Tetapi kita menghargai usahanya. Setelah anak itu suka memegang dan berlatih membuat goresan, kita kadang membunuh ekspresi mereka dengan memarahi karena membuat goresan di dinding ruang tamu yang baru saja di cat.
Memahami perkembangan anak, merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Karena sebenarnya tugas kitalah untuk mengamati hal itu. Dengan mengikuti perkembangan anak secara cermat, kita akan mengetahui kapan masa mencoreng pada anak dimulai. Sehingga kita bisa mengantisipasi mereka berekspresi di tembok, meja atau tempat yang lain yang tidak semestinya.
Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1970) dalam Creative and Mental Growth mengatakan bahwa tahap perkembangan seni rupa anak dibagi menjadi tiga periodisasi yaitu :  1) masa coreng moreng,2) masa prabagan dan 3) masa bagan. Kita akan focus pada satu masa, yaitu masa coreng moreng. 
                Masa coreng moreng adalah sebuah masa dimana anak merasa senang membuat goresan-goresan. Masa ini ketika anak berusia sekitar dua tahun atau bahkan sebelumny sesuai dengan perkembangan motoric tangan dan jarinya yang masih menggunakan motoric kasar.  Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat anak yang melubangi atau meluaki kertas yang dia gunakan untuk melukis. Atau menggambar.  Goresan-goresan yang dibuat oleh anak pada masa ini adalah goresan yang belum menampilkan suatu objek. Pada awalnya goresan ini dilakukan hanya karena mengikuti gerak motoric anak semata.
Pada tahap pertama ini anak hanya mampu menghasilkan goresan terbatas. Goresan dengan arah vertical atau horizontal. Hal ini berkaitan dengan kemampuan motoric anak yang masih menggunakan motoric kasar. Pada perkembangan berikutnya goresan sudah mampu menggoreskan dengan arah yang bervariasi, termasuk sudah mulai mampu membuat bentuk lingkaran.
Periode ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu : 1) corengan tak beraturan, 2) corengan terkendali dan 3) corengan bernama.
Pada tahap mencoreng tak beraturan, anak akan menggambar dengan cara sembarangan, hasil yang didapatpun belum jelas , karena kegiatan mencoreng ini walau disukai namun karena anak mencoba menggores tanpa melihat kertas atau papan yang disediakan. Maka anak belum bisa menggores bentuk lingkaran walaupun dia dengan semangat yang tinggi akan mencobanya.
Tahap  berikutnya yaitu tahap corengan terkendali. Pada tahap sudah tercipta adanya koordinasi dan kerjasama antara visual dan motoric. Hal ini terbukti dengan adanya pengulangan goresan, baik itu goresan vertical, horizontal ataupun bentuk lengkung.
Corengan bernama ada pada tahap terakhir. Hal ini ditandai dengan kemampuan anak untuk mengontrol goresannya. Pada tahap ini  anak sudah mulai berani memberi nama hasil goresannya, mobil, ayah, ayam, ikan dan yang lain. Anak mulai mengekspresikan idenya dengan goresan dan mencoba mengemukakan pendapatnya dengan memberi nama.
                Pada masa coreng moreng ini kita sering kuwalahan menghadapi anak. Mengapa? Karena pada masa ini anak akan sering berekspresi di sembarang tempat. Bahkan dinding yang baru saja selesai kita cat dengan cat barupun tak luput dari sasaran aksi anak. Mereka akan menunjukkan dengan rasa bangga hasil goresannya. Yang penting dia merasa senang karena mampu menemukan hal baru.
                Kegiatan membuat goresan inilah yang sering membuat kita marah dan menganggap anak sudah melakukan kesalahan. Sering terjadi kita melarang setelah melihat anak memberikan goresan   di dinding, di lemari, di meja atau justru di kertas-kertas dokumen penting tanpa sepengetahuan kita.  Anak menggores di tempat-tempat tersebut karena anak merasa senang mendapat tempat yang lapang, yang sesuai dengan keinginan untuk berekspresi.  Walaupun hal itu sering kita anggap sangat merugikan.
                Bagaimana cara mengantisipasi agar anak tak mencoreng di sembarang tempat?
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan membiasakan anak untuk menggores di kertas  yang kita sediakan. Pada saat anak ingin menggores, kita harus tanggap. Segera   menyiapkan kertas atau papan khusus agar anak nyaman berekspresi. Pada saat anak ingin menggores di tembok, kita berikan pengertian bahwa menggores sebaiknya di kertas atau di tempat yang sudah disediakan. Mungkin beberapa kali anak akan tetap berusaha untuk menggores di tembok, saat itulah tugas kita untuk mengalihkan perhatian dan meminta mereka menggores pada tempat yang sudah disediakan.
Kita juga bisa mengajarkan pada anak untuk menggores pada kertas atau kanvas. Siapkan waktu khusus untuk belajar bersama anak. Kita siapkan kertas dan pena. Berikan juga pada anak, kertas dan pena, lalu ajaklah mereka membuat goesan pada kertas tersebut seperti yang kita lakukan. Dengan sering mengajak anak menggambar bersama tentu akan tertanam dalam otak anak bahwa itulah cara menggores yang benar.
Melihat atau mengunjungi lomba lukis juga merupakan satu sarana untuk memperkenalkan anak pada kegiatan menggores atau melukis. Pada saat melihat atau mengunjungi lomba ini selain membuat hati anak senang, kita juga bisa  menunjukkan contoh dan penjelasan bagaimana seharusnya kita menggores atau melukis.

artikel ini dimuat pada Majalah Mentari edisi Mei 2016



edukasi



Melatih Anak Mengambil Keputusan

Oleh Murmiyati Hadi Santoso

Seorang ibu membawa anak usia lima tahun ke sebuah toko mainan. Setelah melihat kesana kemari, memperhatikan si anak berdiri terpana di depan salah satu etalase, sang ibu bertanya.
“Mainan mana yang hendak dipilih Nak?”
“Manut Mama aja.”
“Tadi katanya mau pilih robot?”
“Terserah Mama aja.”
“Mau yang ini? Atau yang itu? Yang ada dalam etalase?”
“Mama aja yang pilih. Terserah mama aja!”
“Lho, Mas harus belajar memilih dong. Nanti kalau mama yang pilih, kamu nggak suka?”
“Terserah Mama aja.”
Berulang kali si anak mengatakan semua terserah mama saja. Orang tua sudah mencoba memberikan tawaran, mengingatkan keinginan si anak untuk membeli robot. Namun karena banyak model dan jenis robot maka orang tua memberi kesempatan pada anak untuk memilih. Apa yang terjadi? Si anak tetap tak mau menjatuhkan pilihan, walau sebelumnya dia sudah melihat-lihat dan terpana melihat salah satu robot yang dipajang.
Bila keadaan sudah seperti ini,  sebenarnya sebuah masalah yang besar menghadang di depan kita. Ternyata anak kita tidak mampu memilih. Mengapa hal ini terjadi? Bisa jadi ini terjadi karena kesalahan kita. Karena kita tidak mengajarkan pada mereka bagaimana cara memilih, atau kita tidak pernah memberikan kesempatan pada mereka untuk memilih. Sering terjadi kita sebagai orang tua memberi kesempatan anak untuk memilih tetapi tawaran itu hanya semu, karena kita sudah mempunyai pilihan dan berusaha menggiring anak untuk memilih sesuai pilihan kita.
Dalam ilustrasi tadi digambarkan bagaimana seorang anak diajak oleh ibunya untuk membeli mainan. Anak ditawari untuk memilih, namun si anak menyerahkan semua pada sang ibu. Hal ini bisa terjadi salah satunya adalah karena sang ibu terlalu sering “mengarahkan” anak dalam memilih. Sebenarnya anak sudah memiliki pilihan sendiri. Bahkan pada beberepa anak sampai menangis untuk mempertahankan pilihannya. Orang tua menuruti kehendak anak untuk membeli mainan namun dengan syarat. Boleh membeli tapi tidak yang mahal-mahal. Boleh membeli tapi tidak boleh nakal. Boleh membeli tapi…. Terlalu banyak syarat, terlalu banyak tetapi yang harus diingat, maka hal yang wajar bila anak akhirnya menyerahkan semua keputusan pada orang tua. Sebuah pengalaman mengajarkan pada anak   bahwa membeli mainan adalah mainan yang diinginkan orang tua, bukan yang diinginkan anak. Bila hal ini sering terjadi dan berulang, maka baying-bayang suram ada di hadapan anak kita.
Hidup adalah pilihan. Banyak hal mengharuskan kita menjatuhkan pilihan yang tepat. Menjatuhkan pilihan tidak selalu pada hal-hal yang besar, bahkan hal yang kecilpun kita dituntut untuk memilih. Hal-hal kecil yang selalu dihadapkan pada kita untuk memilih diantaranya adalah memilih dua hal yang berbeda atau bertentangan. Duduk atau berdiri, mandi atau tidak, makan atau tidak makan, bangun pagi atau siang, membaca atau menonton televise, tidur atau begadang, dalam hal ini kita dituntut untuk memilih.  Belum lagi hal-hal yang lebih besar dan lebih kompleks. Memilih sekolah dimana, mau belajar apa, memilih kegiatan apa, mecari pekerjaan yang bagaimana, dan sebagainya. maka kemampuan memilih harus dilatihkan pada anak sejak dini.
Sikap anak mayoritas adalah duplikat orang tua. Sikap ini didapat dari pendidikan sehari-hari yang diterapkan oleh orang tua pada anak. Pada sebagian yang lain, anak menjadi peniru ulung. Meniru apapun yang dilakukan oleh orang tua. Karena orang tua sebagai teladan terdekat bagi anak. Anak yang terbiasa menyerahkan semua keputusan pada orang tua tentunya akan sangat berpengaruh pada saat anak tersebut dewasa nanti. Dalam pertumbuhan anak menuju remaja dan dewasa dituntut untuk memiliki kemampuan memilih. Baik itu untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.
Bagaimana mengatasi hal ini bila sudah terlanjur? Masihkan kita punya kesempatan untuk memperbaikinya? Semua tergantung pada usaha kita.
Sebuah pengalaman mengajarkan bahwa bila hal ini terjadi pada anak-anak kita, maka kita harus segera melakukan evaluasi diri dan mengubah sikap. Mengubah sikap anak bukan hal yang mudah, perlu waktu dan disiplin. Hal pertama yang harus dilakukan adalah kita harus berani memberi kesempatan sepenuhnya pada anak untuk memilih. Selain itu kita juga harus disiplin. Dalam arti kita harus tega tidak memberikan apapun pada anak pada saat mereka tidak menjatuhkan pilihan. Sebagai contoh yang mudah, kita menawarkan anak untuk makan sekarang atau nanti. Bila anak tidak menjatuhkan pilihan, kita harus berani tidak memberi makan walau melihatnya kelaparan. Dari pelajaran pertama ini sebenarnya kita memberi tahu anak bahwa dia harus belajar menjatuhkan pilihan. Pada kondisi seperti ini biasanya orang tua tidak tega dan lupa pada disiplin yang harus kita terapkan. Sikap tidak tega dan merasa kasihan untuk sementara harus kita singkirkan. Karena kita ingin memiliki anak yang terampil dalam mengambil keputusan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Mengajarkan anak untuk menjatuhkan pilihan perlu proses dan butuh waktu yang lama. Karena kita ingin anak kita tidak merasa kaget ketika kita meminta mereka untuk memilih. Kesabaran dan ketelatenan sangat dibutuhkan. Kita bisa mengajarkan anak menjatuhkan pilihan tidak dalam satu waktu. Juga usahakan mengajarkan anak memilih dalam suasana yang menyenangkan, rileks, dengan senda gurau, sehingga anak tidak merasa bila sedang dilatih untuk menjatuhkan pilihan. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengajarkan anak menjatuhkan pilihan. Melibatkan anak dalam mengambil keputusan, melakukan komunikasi intensif, mendampingi dalam bermain, mengajarkan untuk mengatur waktu, merupakan hal-hal yang bisa mendukung anak dalam menjatuhkan pilihan.





Naskah ini dimuat pada Majalah Mentari edisi April 2016